Kamis, 29 Oktober 2009

TERATOLOGI

BAB I
KLASIFIKASI DAN EPIDEMIOLOGI CACAT LAHIR


1.1. KLASIFIKASI

Kelainan congenital merupakan istilah paling mudah untuk memberikan sebutan terhadap suatu kegagalan proses pembentukan organ yang tidak teratur yang meliputi keseluruhan bentuk kelainan perkembangan yang ditemukan dalam suatu kelahiran bayi. Kelainan tersebut bias saja struktural, fungsional, metabolik, perilaku ataupun yang bersifat menurun.
Acuan yang banyak digunakan untuk mengklasifikasikan kelainan perkembangan adalah “International Statistical Classification of Diseases” yang diterbitkan oleh WHO (1975), dalam pengklasifikasian tidak dapat digunakan acuan tunggal yang dapat mencakup semuanya, karena setiap jenis pengklasifikasian disusun untuk tujuan tertentu. Beberapa acuan khusus membahas tentang pengelompokan kelainan perkembangan yang diakibatkan oleh kelainan morfogenesis, sehingga sulit ditemukan rumusan khusus yang tepat dalam kajian klinis praktis.

1.1.1 KLASIFIKASI SECARA EMBRIOLOGI DAN TERATOLOGI
Berdasarkan konsep kajian anatomi dan patologi dalam beberapa buku acuan (Willis, 1958, Gray & Skandalakis, 1972, Moore, 1982), kelainan congenital diklasifikasikan sebagai berikut:
i. Agnesis; kegagalan perkembangan, seperti renal agnesis, anophthalmos
ii. Hypoplasia; perkembangan yang terhenti, seperti infantile uterus dan langit-langit bercelah
iii. Hyperplasia; perkembangan yang terpacu contohnya polydactyly
iv. Perkembangan abnormal rangka tubuh, misalnya phocomelia
v. Munculnya struktur vestigial, misalnya imperforate anus
vi. Kegagalan memisah atau kanalisasi, contohnya syndactyly
vii. Dysraphia (gagal menyatu) contoh spina bifida
viii. Deferensiasi atipik, seperti teratoma sacrococcygeal dan neuro blastoma
ix. Asesoris (pada beberapa tempat /pusat organogenesis) atau ektopik (di luar tempat perkembangan yang normal) misal supernumerary nipples dan ectopic ureter.

Tuchmann dan Duplessis (1975) berpendapat bahwa semua malformasi dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama, yaitu:

1. Anomali / kelainan tunggal;
Kelainan yang sangat umum dijumpai yang dicirikan dengan sifat kelainannya terlokalisasi pada perkembangan organ tertentu seperti spina bifida, anencephaly, omphalocele, bibir sumbing (cleft lip), langit-langit bercelah (cleft palate), kelainan anggota (polydactyly, syndactyly, ectrodactyly, meromelia dsb)

2. Anomali / kelainan ganda
Muncul berupa asosiasi dua fetus yang masing-masing berkembang hampir sempurna. Kondisi ini berhubungan erat dengan fenomena kembar yang dalam pengelompokkannya dapat dibagi menjadi tiga tipe:
a. Teratophages : penggandaan satu individu dengan perlekatan pada bagian tubuh tertentu, contoh berbagai jenis kembar siam dempet perut, kepala dsb.
b. Parsial/duplikasi fetus terlokalisasi: misalnya Y-monster; 2 kepala, 2 badan dengan 4 tangan dan 2 kaki.
c. -monster: 1 kepala dengan 2 badan dan 4 kaki.

3. Parasitic monstrosities
Sangat jarang ditemukan, kejadian ini dari 2 fetus, salah satunya berkembang jauh lebih dominan dibandingkan kembarannya;yang banyak mengalami reduksi perkembangan, sehingga ukuran salah satu fetusnya jauh lebih kecil dan bahkan organ tubuhnya sulit dikenali. Jaringan-jaringan parasitik sangat mungkin membentuk tumor yang terbentuk saat embrional seperti dermoid cyst dan sacrococcygeal teratoma.

1.1.2 KLASIFIKASI SECARA KLINIS

Pengenalan terhadap kelainan perkembangan tanpa dapat menjelaskan definisinya secara jelas merupakan klasifikasi yang tidak bermanfaat, oleh sebab itu Spranger dan koleganya (1982) mengajukan suatu sistem klasifikasi praktis untuk kejadian kelainan morfogenetik yang berkaitan dengan patogenesis sebagai berikut:
a. Malformasi: kelainan morfologi suatu organ, bagian tertentu organ, atau bagian lebih besar suatu tubuh yang diakibatkan oleh proses perkembangan yang abnormal secara instrinsik. Intrinsik mengindikasikan potensi perkembangan dari suatu primordium/bakal yang sudah abnormal sejak awal. Sebagian besar malformasi adalah suatu kelainan morfogenetis dan perkembangan yang bekerja sebagai unit yang diatur pada interaksi embrionik dan akibat-akibatnya membentuk malformasi yang kompleks atau multipel.

Gambar 1. Kelainan bibir sumbing (cleft lip)
b. Disrupsi: Kelainan morfologi suatu organ, bagian organ atau bagian tubuh yang lebih besar sebagai akibat dari kerusakan ekstrinsik yang berpengaruh terhadap proses perkembangan normal. Sehingga perubahan morfologis yang dikarenakan pendedahan terhadap teratogen merupakan kejadian disrupsi. Disrupsi tidak diturunkan, namun faktor-faktor yang diturunkan dapat dibentuk oleh pengaruh perkembangan suatu disrupsi.

Gambar 2. Polidactyly post-axial
c. Deformasi : kondisi, bentuk dan posisi abnormal suatu organ atau bagian tubuh yang disebabkan karena gaya mekanis. Kompresi intrauterin yang diakibatkan oleh kurangnya jumlah cairan amnion (oligohydramnios) dapat menjadi pemicu munculnya kelainan equinovarus foot. Beberapa kelainan sistem saraf pusat seperti meningomyelocele, menyebabkan terjadinya kelainan fungsional intrinsik yang juga dapat menyebabkan terjadinya deformasi fetal.

Gambar 3. Meningomyelocele

d. Displasia : pengaturan yang abnormal dari sel menjadi jaringan (histogenesis abnormal) sehingga membentuk suatu morfologi yang abnormal, dengan kata lain displasia adalah suatu proses dan konsekuensi dari dishistogenesis. Misalnya hidrosefalus, Osteogenesis imperfecta dan sindrom Marfan’s. Penyebab displasia umumnya non-spesifikdan seringkali mempengaruhi beberapa organ karena kondisi alamiah kelainan seluler dibawahnya.

Gambar 4. Hidrosefalus

Pada kejadian dimana bayi mengalami anomali/kelainan ganda, terminologi yang lain dapat digunakan untuk memberikan penekanan terhadap sebab musabab dan patogenesisnya. Terminologi ini meliputi:
1. Polytopic; pola kelainan yang merupakan derivat dari kegagalan dari suatu perkembangan tunggal
2. Sequence; sering pada beberapa buku disebut anomalad atau pada literatur lama disebut kompleks, adalah pola kelainan ganda yang merupakan derivat satu kelainan struktural atau faktor mekanis yang sudah diketahui pasti atau yang masih pendugaan. Dasar pengelompokannya adalah pertimbangan konsep patogenetik bukan konsep hubungan sebab akibat. Contohnya Potter’s sequence oligohydramnios yang terjadi diduga disebabkan oleh adanya renal agnesis dan kebocoran cairan amnion.
3. Syndrom/sindroma; pola kelainan ganda yang secara patogenesis saling berhubungan satu dengan yang lain dan tidak pernah ditemukan penyebabnya tunggal/polytopic.
4. Asosiasi; kelainan ganda yang munculnya tidak acak pada dua atau lebih individu. Jadi kelainan yang tergolong asosiasi ini lebih diperhitungkan ke arah faktor statistiknya daripada pertimbangan patogenesis atau hubungan sebab akibatnya. Satu atau lebih kelainan yang tergolong sequence, sindroma atau politopic bisa saja membentuk suatu kondisi asosiasi.

1.2. EPIDEMIOLOGI
Saat ini orang lebih cenderung memeperhatikan penyebab ataupun pencegahan terjadinya kelainan perkembangan. Hal ini terbukti tidak hanya disebabkan oleh adanya pengalaman kasus tentang penyalahgunaan tallidomit pada masa lalu, namun juga dapat dilihat dari angka bahwa angka laju kematian bayi dan kasus-kasus pencegahan penyakit, baik penyakit yang terkait dengan nutrisi ataupun penyakit infeksi nampak terjadi penurunan secara gradual dari tahun ke tahun, seperti yang terlihat dalam grafik berikut:

Grafik 1. Infant Mortality Rates (IMR) di Kanada th. 1950 – 1976

Studi epidemiologis kelainan perkembangan telah dilakukan, baik secara retrospektif (dengan mencatat kelahiran, kartu kematian dan kuisioner), ataupun dengan metode pengambilan data prospektif. Karena adanya berbagai perbedaan terminology dan kriteria diagnostik, kadangkala sulit membandingkan hasil keduanya. Beberapa data diperoleh dari studi follow up lebih dari satu tahun, sementara ada penelitian lain yang hanya diambil dalam jangka waktu beberapa hari saja. Criteria yang digunakan dalam penilaian yang berbeda dianggap sama, dan malformasi minor tidak dimasukkkan sebagai salah satu kategori cacat lahir dalam semua studi. Karena perbedaan terminology, definisi dan persepsi, frekuensi kejadian yang dilaporkan menjadi bervariasi .
Pada sebagian besar studi retrospektif sampel populasi tidak dikontrol seperti halnya terhadap kriteria diagnostiknya. Jika catatan rekam medik Rumah Sakit yang digunakan, maka akan memunculkan banyak permasalahan, biasanya seringkali data tidak mencukupi, banyak data yang tidak terpakai dan harus dibuang, sehingga hal ini akan menyebabkan analisis sample menjadi bias. Untuk mengatasi hal ini maka dilakukanlah studi prospektif, dengan mencatat semua jenis kelainan perkembangan yang ada. Sample populasi harus diidentifikasi, dan petunjuk pengamatan atau pemeriksaan kelahiran yang jelas serta pelaporan malformasi mayor ataupun minor harus diformulasikan dengan baik.
Janerich dan Polednak (1983) mengatakan bahwa hasil studi retrospektif dapat dibandingkan dengan baik dengan data prospektif yang ada. Distribusi dan frekuensi kejadian malformasi kongenital yang terjadi dan tercatat di dunia dan dipublikasikan sejak tahun1901 hingga 1960 telah tercatat secara komprehensif dilakukan oleh Kennedy (1967). Dari 238 studi yang dilakukan, terlaporkan lebih dari 20 juta kelahiran dengan persentase malformasi kongenital sebesar 1,08% sementara data yang diperoleh berdasarkan catatan di rumah sakit, surat kelahiran dan kuisioner retrospektif diperoleh persentase sebesar 0,83%, sedangkan data dari pengamatan intensif terhadap anak-anak diperoleh 4,5%. Malformasi kongenital memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat kematian neonatal dan tingginya angka kejadian cacat diperoleh dari kasus-kasus aborsi.
Survai yang detail terhadap 421.781 kehamilan di 25 ibu kota dari 16 negara menggunakan teknik standar telah dilakukan oleh WHO. Dari 426.932 kelahiran hidup terdapat 416.695 kelahiran tunggal dan 5.086 bayi kembar. Dari jumlah tersebut ditemukan persentase malformasi baik mayor maupun minor adalah sebesar 12,7 dan 4,6 per 1000 kelahiran (Stevenson, et al., 1966).
Myrinthopoulos dan Chung (1974) melaporkan bahwa frekuensi malformasi 15,56% dari 53.394 kelahiran. Malformasi ganda sebesar 2,59% dengan frekuensi tertinggi adalah kelainan kardiovaskuler (78,41%). Bayi laki-laki mempunyai frekuensi mengalami malformasi mayor dan ganda, sedangkan malformasi minor frekuensi kejadiannya lebih tinggi pada ras negroid dibandingkan kulit putih. (Winter dan Persaud, 1972 , Leck, 1977). Kejadian malformasi kongenital yang lebih tinggi ditemukan pada bayi kembar (18,33%) jika dibandingkan dengan kelahiran tunggal, dan malformasi ganda ditemukan 3,25 dari kelahiran yang ada (Myrinthopoulos, 1975). Pada bayi kembar, kejadian malforfasi bumbung neural lebih tinggi dibandingkan bayi tunggal (1,6/1000 dibanding 1,0/1000). Kepekaan respon pada bayi kembar terhadap teratogen juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Windham, et al. 1982).
Di negara-negara barat kejadian malformasi pada kelahiran diprediksikan sebesar 2% hingga 3% dan 4% hingga 6% pada 2 tahun berikutnya karena munculnya anomali kardiovaskuler, ginjal, dan sistem saraf (Tuchmann dan Duplessis, 1975).
Distribusi frekuensi malformasi kongenital yang terjadi pada sistem tubuh dan organ, diperkirakan terjadi pada berbagai bagian sebagai berikut: anggota (26%), sistem saraf pusat (17%), sistem urogenital (14%), wajah (9%), sistem gastrointestinal (8%), sistem kardiovaskuler (4%) dan malformasi banyak bentuk dan asosiasi (22%) Tuchmann dan Duplessis (1975). Prevalensi malformasi bumbung neural dilaporkan berkaitan erat dengan faktor geografi, waktu , jenis kelamin bayi dan orang tua (umur, etnis) dan keluarga.
Polani (1973) memperkirakan paling tidak 6% dari keseluruhan bayi yang dilahirkan, 2% mengalami kelainan genetik dan 4% mengalami kelainan perkembangan. Malformasi mayor muncul paling tidak sebesar 2% dari bayi yang dilahirkan hidup, dan malformasi tersebut terhitung mendekati 20% pada keseluruhan bayi yang mati saat dilahirkan. Tingginya frekuensi kelainan perkembangan pada bayi yang dilahirkan mati nampak merupakan data observasi yang konsisten pada berbagai studi yang berhubungan (buckfield, 1973, Harris, et al., 1975, Thorburn et al., 1969 dan Norman, 1984).
Munculnya kelainan perkembangan sejak stadium awal perkembangan embrional, memunculkan beberapa laporan berkaitan dengan hal tersebut. Hertig dan Rock (1967) menemukan bahwa 10 dari 23 spesimen (umur 1 – 17 hari) mengalami cacat. Malforfasi luar teramati sebesar 3,7% - 4,7% dari 901 spesimen fase embrio akhir dan fase fetus awal (Nishimura et al., 1968).frekuensi dan pola malformasi meningkat seiring dengan umur gestasi, yang barangkali berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan untuk terdedah dan terpengaruh dengan materi teratogenik, baik instrinsik maupun eksogenous. Di Vancouver General Hospital, pengamatan secara cermat terhadap embrio dan fetus yang kehamilannya dihentikan (aborsi) pada umur  20 minggu, menunjukkan bahwa terdapat 37,2% embrio dan 30,8% fetus mengalami abnormalitas morfologi. Abnormalitas yang menonjol pada fetus adalah malformasi ganda non-kromosomal, kelainan bumbung neural (anencephaly) dan kardiovaskuler (Norman, 1984).
Prevalensi aborsi spontan merupakan upaya penolakan secara alamiah terhadap embrio abnormal. Boue et al. (1975) menemukan bahwa lebih dari 60% abortus spontan (umur gestasi < 12 minggu) berkaitan dengan anomali kromosomal. Dari keseluruhan kejadian rentangnya adalah 8% - 64% (Stenchever et al. 1967 , Szulman, 1965). Dengan menggunakan model statistik, Robert dan Lowe (1975) memprediksikan adanya kehilangan gestasi pada manusia sebesar 78%. Pendapat ini muncul barangkali didasari atas anggapan bahwa kehilangan gestasi merupakan aturan daripada suatu penolakan. Malformasi lebih sebagai norma daripada penolakan. Pada studi prospektif terhadap kegagalan kehamilan setelah implantasi terjadi adalah sebesar 43%, dan konsepsi maksimum yang dilaporkan adalah 36%. Kehamilan awal didiagnosis dengan menggunakan teknik radioimunoessay khusus dengan sensitivitas tinggi terhadap kadar HCG urine. (Miller et al. 1980).








BAB II
FASE-FASE KRITIS PERKEMBANGAN INTRAUTERIN

Konsep dasar dalam teratologi adalah pada tingkat perkembangan tertentu, embrio lebih mudah terganggu dibandingkan fase perkembangan yang lainnya. Lama pendedahan dalam teratogen tertentu yang potensial, tidak hanya mengakibatkan kerusakan, namun juga memunculkan berbagai macam kelainan. Seandainya konseptus tidak mati pada umur perkembangan awal, ia akan melanjutkan perkembangannya dan membentuk organisme baru yang normal ataupun dengan malformasi, atau dengan membawa kecacatan fungsional postnatal (Goldman,1979, Lenz, 1979, Shepard, 1979).
Pada kasus talidomid, hal paling penting dalam induksi terjadinya malformasi adalah waktu pemberian obat selama organogenesis dibandingkan dengan dosis yang diberikan. Lenz, (1980) menemukan bahwa fase kritis berada mulai dari hari ke 35 hingga hari ke 48 setelah perioda menstruasi terakhir, konsepsi terjadi pada hari ke 14 dalam siklus uterus. Beberapa kekhasan dalam kemunculan berbagai tipe malformasi telah diketahui pada hari postmenstruasi yang berbeda; hari ke 35 – 37 tidak terbentuk telinga, hari ke 39 – 41 tidak terbentuk lengan, hari ke 41 – 43 tidak terbentuk uterus, hari ke 45 – 47 tidak terbentuk tibia, hari ke 47 – 49 tidak terbentuk jari jemari (triphalangeal). Untuk sebagian besar jenis obat dan zat kimia, periode kritis belum diketahui dengan jelas, karena konseptus selalu didedahkan dalam teratogen selama kehamilan. (Lenz, 1979). Hasil yang didapatkan dari studi laboratoris mengindikasikan bahwa embrio akan lebih peka dan lebih mudah mengalami kerusakan pada saat puncak deferensiasi jaringan pada organ tertentu.



2.1. GAMETOGENESIS
Pertemuan antara sperma dan oosit mengakibatkan terbentuknya sebuah sel tunggal baru, yaitu zigot yang memiliki semua potensi untuk berkembang menjadi individu baru. Kejadian yang penting dan menakjubkan adalah terjadinya proses sitologis yang sangat kompleks yaitu rekombinasi material genetik dari dua sumber yang berbeda dan pendistribusiannya pada genom keturunan.
Kelainan kromosomal muncul dengan frekuensi yang tinggi pada awal konsepsi, dan embrio yang mengalami hal ini sebagian besar diaborsikan, ini merupakan suatu mekanisme seleksi yang sangat efektif (Shepard dan Fantel, 1979, Poland et al., 1981, Lauritsen, 1982). Abnormalitas selalu ditemukan dalam setiap meiosis, sebagain besar merupakan konsekuensi dari peristiwa non-disjunction atau pada saat fertilisasi (Ray, 1979). Boue et al., (1975) menemukan bahwa lebih kurang 50% konsepsi secara kromosomal abnormal. Studi prospektif terhadap 1498 abortus, yang kesemuanya berumur kurang dari 12 minggu, diketahui bahwa 60% diantaranya mengalami kelainan kromosomal.
Meningkatnya peristiwa teratogenesis dapat juga diinduksi oleh adanya perubahan yang terjadi dalam gamet itu sendiri. Bardeen (1911) pada awal studi-studi prekonseptus teratogenesisnya menemukan bahwa irradiasi terhadap gamet sebelum fertilisasi akan memunculkan banyak sekali kelainan kongenital. Uchida et al., (1968) dalam studi prospektifnya terhadap 972 anak-anak, memperoleh data bahwa frekuensi terjadinya kelainan trisomi dialami oleh anak yang ibunya mengalami irradiasi abdominal. Banya faktor-faktor di lingkungan, termasuk obat yang dikonsumsi oleh ibu hamil, dapat mempengaruhi perkembangan janin, akan tetapi merupakan hal yang sangat sulit untuk melacak kejadian malformasi ke belakang, kecuali berdasarkan catatan khusus yang disimpan.




2.2. PRA-IMPLANTASI
Meskipun kelainan kongenital secara eksperimental pada hewan telah diketahui dapat diinduksi selama tahap pra-imlantasi, namun belum diketahui pengaruhnya pada manusia. Perioda pra-implantasi mungkin merupakan salah satu fase yang paling mudah dipengaruhi, seperti yang dibuktikan lewat berbagai eksperimen dengan radiasi sinar X terhadap mencit (Rugh dan Budd, 1975).
Posisi konseptus pada uterus dan tabung uterin bisa dimana saja, tergantung pada sekresi yang ada untuk nutrisinya. Obat-obatan seperti nikotin dan kafein dapat mencapai blastocyst melalui rute ini dan dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan atau degenerasi (Fabro dan Sieber, 1969). Jika luka yang terjadi relatif kecil, akan dapat disembuhkah karena adanya kemampuan totipotensi sel-sel embrio.
Berbagai studi eksperimental menunjukkan bahwa pendedahan dalam zat teratogenik selama perioda pra-implantasi tidak menyebabkan terjadinya kelainan perkembangan/abnormalitas pada embrio. Kejadian ini alasannya belum cukup jelas namun kemungkinan berhubungan erat dengan sifat totipotensi sel-sel embrional yang pada ujungnya berkaitan dengan kebutuhan metabolisme sel yang sama sebelum terjadinya perioda pembentukan primitive streak. Kemungkinan bahwa pengaruh gangguan tersebut dapat merusak keseluruhan kumpulan sel-sel yang homogen tersebut atau barangkali hanya membunuh secara acak diantaranya. Laporan mengenai malformasi yang diinduksi selama perioda ini dapat juga dijelaskan dengan kerusakan langsung materi genetik embrio (Skalko et al., 1979 ), atau efek skunder hingga primer pada induk, seperti toksisitas induk, perubahan endometrial, perubahan pada cairan oviduk.
Studi pada hewan menunjukkan bahwa obat-obatan dan zat kimia tertentu (nikotin, cyclophospamide, actinomycin D, cytochalasin B) dapar terakumulasi dalam blastokist bila diberikan ke induk selama awal-awal kehamilan. Nampaknya blastokist tidak dapat menerima pada level efektif terhadap teratogen hingga secara nyata teratogen tersebut berada dalam kontak langsung dengan endometrium maternal.


2.3. PERIODA EMBRIONAL
Perkembangan awal embrional dicirikan dengan dengan adanya proses proliferasi sel yang sangat intensif, migrasi sel, degenerasi sel dan kematian sel (Edelman, 1984), kesemuanya ini ada kemungkinannya berhubungan dengan teratogenesis. Pada hewan, beberapa zat kimia dan obat ( hidroksi urea, asam retinoat, galaktoflavin, aktinomisin) menunjukkan pengaruh teratogenik yang meningkat dari implantasi hingga fase terbentuknya primitive streak, namun belum diketahui mekanismenya jika diaplikasikan pada manusia.
Sebagai akibat dari aktivitas syncytiotrophoblastic, pembuluh darah uterin akan mengalami kerusakan, sehingga darah akan mengalir ke lakuna-lakuna syncytial yang ada. Darah maternal mulai mengalir melewati ruang ini dan mulai membentuk sirkulasi uteroplasental primitif. Pada fase perkembangan ini pola nutrisi dari embrio awal berubah dari histotropik (menyerap sel-sel desidua yang dihancurkan) menjadi hemotropik (Moore, 1982). Agen-agen teratogenik dapat mempengaruhi unit plasental melalui beberapa cara sebagai berikut:
1. merusak sel-sel desidua (makromolekulnya) dan menyerapnya
2. memindahkan fungsi plasenta chorioallantois yang ada
3. memproduksi hormon
Migrasi sel terjadi dalam berbagai jenis matrik sel misalnya kolagen. Penghilangan dan atau mempengaruhi akan mengganggu proses migrasi bebas sel dan embriogenesis (Bhatnagar dan Rapaka, 1984). Mengganggu formasi matrik (mengganggu organisasi sekresi glikosaminoglikan) mungkin merupakan hal penting dalam patogenesis malformasi pada manusia (Trelstad, 1984).
Interaksi antara komponen-komponen jaringan yang saling berdekatan seperti proses notokordal untuk menginduksi pembentukan keping neural; primordial sistem saraf pusat dari permukaan ektoderm , menunjukkan adanya prinsip-prinsip universal dan penting untuk sinkronisasi perkembangan selama embriogenesis. Sistem induksi yang tidak efektif diketahui memberi kontribusi terhadap kelainan kongenital pada hewan-hewan laboratorium, mekanisme yang sama diduga juga terjadi pada manusia. Proses ini terjadi barangkali disebabkan oleh berkurangnya media kontak, terbatasnya areal/bagian yang saling kontak, induktor yang tidak bekerja dengan baik, kompetensi jaringan yang salah, ketidak tepatan waktu interaksi pada lapisan-lapisan germinal yang berinteraksi (Yamada, 1983, Pratt dan Christiansen, 1980, Hay, 1981, Wiley et al., 1983).
Pembentukan tida lapisan germinal pada manusia selesai pada akhir minggu ke tiga perkembangan embrional, setelah semua struktur internal dan eksternal secara bertahap mulai muncul. Pada saat pembentukan bumbung jantung primitif dan ektoderm neural, perkembangan sistem kardiovaskuler dan sistem saraf baru mulau berlangsung.
Selama minggu ke empat, bentuk umum embrio telah tercapai. Dengan melakukan pelekukan sepanjang sumbu longitudinal dan transversal, lempeng embrional yang semula pipih menjadi membelok menjadi struktur tubuler. Pengamatan lebih detail tentang struktur ini merupakan derivat dari lapisan germinal yang diberikan pada embrioyang merupakan karakteristik manusia pada minggu ke delapan (Moore, 1982). Organ yang sedang berkembang akan lebih mudah mengalami kerusakan pada awal-awal organogenesis dan setiap organ akan sukses menghadapi fase kritisnya selama perkembangannya dapat diperbaiki kembali.

2.4. PERIODA FETAL

Perubahan dari perioda embrional ke perioda fetal bisa berubah-ubah, biasanya ditandai dengan adanya perubahan yang sifatnya spontan/mendadak. Perioda fetal disepakati mulai pada akhir minggu ke delapan, saat deferensiasi sebagian besar organ telah berlangsung. Perioda ini memiliki karakteristik yang ditandai dengan adanya perubahan histogenetik, pertumbuhan yang cepat, dan pematangan fungsional. Kelainan perkembangan bisa saja muncul selama perioda ini dikarenakan beberapa organ yang meliputi sistem saraf pusat, genetalia luar, palatum, dan gigi belum terbentuk dengan sempurna sehingga masih rawan dengan terjadinya kerusakan. Sehingga meskipun kepekaan terhadap teratogenesis semakin menurun dibandingkan saat deferensiasi berlangsung, fetus tidak seluruhnya bebas dari pengaruh teratogen. Kelainan perkembangan minor seperti kerusakan jaringan dan organ, dapat saja terjadi pada fetus, sehingga memunculkan gangguan fungsional setelah dilahirkan (Goldman, 1979), Goodman dan Gorlin, 1983).

Gambar 5. Hubungan perioda perkembangan dengan kepekaan terhadap teratogen (sumber: Persaud, dkk, 1985)
Gambar di atas dapat dirangkum dalam grafik di bawah ini:

Grafik 2. Kepekaan embrio terhadap teratogen




Waktu yang tertentu yang merupakan saat tepat bekerjanya beberapa teratogen pada manusia dan karakteristik morfologi kelainan perkembangan yang terjadi, ditunjukkan dengan tabel berikut:
Jenis teratogen Waktu gestasi (hari) Malformasi
Virus rubella 0 - 60 Katarak, penyakit jantung
0 – 120+ ketulian
Thalidomide 21 - 40 Reduksi anggota tubuh
Hormon jantan (androgen, tumor, progestin) Sebelum 90

Setelah 90 hipertrofi klitoris dan penyatuan labial
hipertrofi klitoris
Coumadin antikoagulan Sebelum 100

Setelah 100 Hipoplasia hidung dan stippling epifisa
Retardasi mental??
Terapi radioiodine Setelah 65 - 70 Tyroidectomi fetal
Goitrogen dan iodida Setelah 180 Fetal goiter (gondok)
Tetrasiklin Setelah 120

Setelah 250 Pewarnaan enamel gigi pada gigi susu
Pewarnaan mahkota gigi permanen
Diambil dari Shepard, 1978
Tabel 1. Hubungan waktu perkembangan dengan jenis teratogen dan kelainan yang diakibatkan







BAB III
KONTRIBUSI FAKTOR GENETIK TERHADAP MALFORMASI PADA MANUSIA

Meskipun saat ini pemahaman dan pengenalan terhadap teratogen lingkungan dan kelinan genetik telah begitu berkembang, namun etiologi lebih dari setengah anak-anak yang dilahairkan dengan malformasi mayor belum diketahui. Meskipun semua kejadian cacat lahir tetap dan tidak ada perubahan baru selama beberapa dekade, pentingnya hubungan cacat lahir dengan morbiditas dan kematian bayi terus meningkat. Peningkatan relatif ini berhubungan langsung dengan reduksi tingkat kematian bayi karena perkembangan pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit tertentu, peningkatan standar pelayanan kesehatan. Abad ini kejadian malformasi tercatat kurang dari 5% dari semua kematian bayi. Saat ini malformasi kongenital tercatat lebih dari 20%. Penyakit genetis secara substansial memberikan kontribusi terhadap morbiditas, seperti yang digambarkan dari hasil survei, yakni adanya 30% kejadian malformasi berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kelinan genetis.

Grafik 3. Hubungan mortalitas karena anomali genital dengan menurunnya angka kematian bayi (keterangan: TIM= total infant mortality, CA= congenital anomalies)


Asal malformasi perkembangan normal perkemb. abnormal

Mutasi titik informasi genetik cacat dominan/resesif
Abrasi krom. Sindrom abrasi krom



Plasenta induk
Organogenesis

Faktor eksogen cacat penting
dan multifaktor
Kelainan metabolik
Fetus malformasi Sistem genital
Sistem saraf

Neonatus normal neonatus malformasi

Gambar 6. Etiologi malformasi kongenital
Diperkirakan 2 – 3% dari seluruh kelahiran dapat diidentifikasi adanya anomali mayor. (Holmes, 1976). Angka ini meningkat dua kali lipat pada survai terhadap anak-anak yang umurnya lebih tua, karena mulai diketahui adanya kelainan organ internal lain. Lebih dari 80% dari semua anomali yang telah diketahui etiologinya diakibatkan dari pengaruh faktor genetik


Grafik 4. Klasifikasi malformasi pada manusia berdasarkan faktor penyebabnya

Data terbaru menyebutkan bahwa penyebab terjadinya malformasi yang telah diketahui baru sekitar 40% saja, baik yang disebabkan oleh factor genetic, lingkungan ataupun kombinasi keduanya, sisanya 60% penyebabnya belum diketahui (Children’s Hospital Boston, 2006). Secara detail ditunjukkan oleh diagram berikut ini:

Grafik 5. Frekuensi faktor-faktor penyebab tejadinya malformasi (www.children’s hospital.org. 2006)

3.1. GEN, LINGKUNGAN DAN MALFORMASI
3.1.1 Interaksi antara gen dengan lingkungan

Beberapa prinsip umum teratologi, saat ini sudah berubah dan berkembang. Prinsip yang pertama adalah kepekaan terhadap teratogenesis tergantung pada genotipe konseptus dan hubungannya dengan lingkungan sekitar. Penyakit dan malformasi merupakan akibat dari terjadinya perubahan keseimbangan antara faktor genetik yang ada dengan pengaruh lingkungan. Malformasi dapat dimunculkan oleh berbagai sebab:
1. Kondisi genetik yang abnormal sebagai faktor utama yang bekerja dalam lingkungan yang umum (kelainan gen tunggal/anomali kromosom)
2. Kombinasi kondisi genetik abnormal dengan lingkungan yang tidak mendukung (multifaktorial, penyakit yang diwariskan secara multifaktorial)
3. Lingkungan abnormal sebagai faktor utama yang bekerja terhadap genetik yang normal (kelainan teratogenik environmental)
Perubahan kondisi lingkungan dapat mengubah ekspresi fenotipe dari suatu kelainan genetik. Contohnya adalah adanya variasi penderita kelainan gen tunggal yang sangat luas dalam suatu keluarga, normalisasi metabolisme, fisik dan perkembangan intelektual seseorang yang homosigot untuk defisiensi enzim Phenylalanine Hydroxilase (PKU), yang dilakukan dengan pelaksanaan diet ketat terhadap konsumsi fenilalanin. Ekspresi kebotakan setelah pemberian testosteron eksogen pada wanita carrier dengan ketergantungan terhadap hormon seks (autosomal dominan). Beberapa kelainan bersifat efek maternal atau efek intrauterin, hal ini biasanya muncul pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita, sangat jarang terekspresi pada kondisi gene yang diwariskan oleh pihak ayahnya.
Pengaruh lingkungan yang abnormal terhadap genetis dapat juga dimodifikasi oleh faktor genetik, misalnya dengan adanya variasi alel dalam suatu keturunan, sehingga menyebabkan munculnya respon yang berbeda terhadap kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. Identifikasi faktor-faktor primer yangmenyebabkan munculnya suatu kelainan sangatlah penting untuk lebih memahami mekanisme suatu malformasi dan manajemen dalam penanganannya.

3.1.2 Gen dan mutasi kromosom

Mutasi gen dan ketidakseimbangan kromosom telah diketahui sebagai salah satu mekanisme dalam teratogenesis. Mutasi secara umum dimaknai sebagai suatu perubahan dalam kode DNA. Mutasi gen dapat terjadi sebagai penggantian pasangan basa tunggal, kehilangan (delesi) atau penambahan (insersi) satu atau lebih pasangan basa (frame shift mutation), atau sebagai suatu akibat dari delesi submikroskopik atau duplikasi pada sebagaian besar pasangan basa. Mutasi dapat diakibatkan oleh kesalahan replikasi atau pindah silang yang tidak seimbang (unequal) saat meiosis. Mutasi dapat diinduksi oleh berbagai faktor fisik, kimiawi dan radiasi yang mengenai DNA selama sintesis dan replikasinya dalam sel-sel germinal atau sel somatik. Mutasi netral adalah mutasi yang tidak menyebabkan adanya efek fenotipe, namun sebagian besar mutasi bersifat merugikan dan menyebabkan munculnya penyakit atau malformasi, terutama jika mutasi tersebut mengenai gen yang mengkode pembentukan protein struktural.
Banyak mutasi diturunkan ke beberapa generasi dan dapat memunculkan berbagai variasi kelainan, tergantung pada gen fungsional yang ada dan model pewarisan sifatnya. Dengan menggunakan model fungsi enzim, secara konseptual terdapat empat tipe gen utama:
1. gen struktural yang menentukan sekuens asam amino yang menyusun polipeptida dan struktur primer protein.
2. gen regulator yang mengontrol dan mengatur aktivitas tipe gen yang lain
3. gen arsitektual yang berperan dalam pengaturan integrasi protein dalam posisi dan struktur yang tepat dalam sel.
4. gen temporal yang mengatur aktivasi ketiga tipe gen di atas dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, pengaturan fungsi sekuen dalam deferensiasi seluler.
Pengaruh faktor genetik yang lain seperti DNA ekstranuklear seperti mt-DNA (DNA mitokondria) juga ada, namun saat ini informasinya masih sangat kurang. Dengan demikian jelas bahwa mutasi yang terjadi terhadap salah satu tipe gen ini akan memicu kemunculan gangguan pada deferensiasi awal, pertumbuhan dan fungsi yang akan memunculkan suatu kelainan. Perkembangan bio molekuler saat ini difokuskan pada pengamatan penyakit genetis dalam hubungannya dengan struktur dan fungsi gen.
Kemunculan abnormalitas kromosom mengimplikasikan penyimpangan sejumlah besar gen yang dapat diamati secara sitologis. Secara umum ketidakseimbangan kromosom dapat menimbulkan efek merugikan pada fenotipe. Abnormalitas kromosom dapat berupa abnormalitas/perubahan dalam jumlah alamiahnya (aneuploidi), atau perubahan struktural. Abnormalitas ini dapat diturunkan atau dapat juga muncul secara sporadis baik pada sel gamet ataupun sel somatik. Penyebab mutasi kromosom ini tidak banyak diketahui, meskipun faktor-faktor yang berhubungan seperti umur induk betina, radiasi ion, zat kimia tertentu, dan mungkin pengaruh genetis telah nyata hubungannya. Analisis lebih detail terhadap kelainan pada kromosom dapat dilakukan dengan teknik banding beresolusi tinggi untuk mengetahui perubahan-perubahan kecil dalam struktur kromosom.


KELAINAN GENETIS; PRINSIP IDENTIFIKASI
3.2.1. Tata cara diagnosis
Tantangan yang dihadapi dokter dalam merawat bayi yang mengalami malformasi adalah memberikan diagnosisi yang tepat dan akurat. Hal pertama yang perlu digali adalah sejarah yang meliputi kemungkinan ibunya terdedah dalam teratogen selama kehamilan, melihat silsilah keluarga hingga 3 generasi, konsanguitas dalam keluarga, umur orang tua, tempat tinggal, suku/etnis, keguguran, kelahiran mati, kematian neonatus, cacat lahir, dan penyakit atau kondisi medis lainnya.
Dengan analisis yang detail akan dimungkinkan diperoleh informasi yang komprehensif untuk kelainan mayor maupun minor, dan bahkan mungkin dapat diketahui adanya kemungkinan adanya malformasi internal dapat berhubungan dengan kemunculan malformasi eksternal yang teramati. Malformasi telinga berhubungan dengan malformasi renal, kelainan radial ray berhubungan dengan kelainan jantung kongenital dan atau malformasi renal, langit-langit bercelah berhubungan dengan kelainan sekat atrium jantung dan sebagainya.
Diagnosis dilakukan dengan pengamatan menggunakan berbagai peralatan radiografi, ultrasonografi, kompunterisasi tomografi, studi kimiawi darah, penghitungan sel darah dan smear darah, analisis kromosom, elektroencephalography, elektrokardiografi, potensi auditoris atau visual, pengamatan mikroskopis jaringan, penggunaan mikroskop elektron atau pewarnaan khusus jaringan. Foto klinis sangat diperlukan untuk didokumentasikan jika diperlukan dimasa yang akan datang.

3.2.2. Konseling Genetik dan Pencegahan
Setiap orang tua selalu mengharapkan memperoleh anak yang sehat. Berita bagus yang ada adalah bahwa sebagian besar bayi dilahirkan dalam kondisi sehat. Meskipun kemungkinan munculnya penyakit ataupun cacat lahir tetap masih ada. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ada kita diberi alternatif untuk melakukan beberapa jenis uji khusus, dimana hasil dari uji ini akan dapat memberikan informasi tentang tipe-tipe cacat lahir, yang dapat dideteksi lewat beberapa uji yang dilakukan.
Konseling genetik dilakukan oleh seorang konselor yang kompeten di bidangnya, biasanya adalah seorang ahli genetika klinis. Pertanyaan-pertanyaan yang barangkali akan diajukan adalah sehubungan dengan riwayat keluarga, kesehatan personal, dan riwayat kehamilan. Pertanyaan khusus yang menyangkut pilihan uji yang dilakukan akan direview secara khusus, pengambilan keputusan diserahkan kepada pribadi yang bersangkutan. Informasi yang diberikan akan sangat bervariasi, tergantung pada kondisi kesehatan individual dan riwayat keluarga. Penting sekali maknanya untuk mendisikusikan semua hal terkait dengan konselor, karena ini akan memberikan akurasi hasil analisis yang lebih baik. Pasien tidak diberikan suatu keputusan untuk melaksanakan sesuatu berdasarkan hasil analisis semua faktor yang didapat dalam konseling, namun pasien dibantu untuk menyeleksi semua alternatif yang ada dan memilihnya sendiri, dengan demikian pengambilan keputusan untuk melakukan uji tertentu atau tidak melakukan adalah sama-sama pilihan yang valid. Keputusan yang penting adalah keputusan yang tepat bagi pasien dan keluarganya dan yang bersangkutan dapat menerima dengan apa yang telah diputuskan.
3.2.3. Kelainan monogenik
Jumlah penderita kelainan gen tunggal pada manusia cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir. Lokus gen pengendali telah diketahui dan berasosiasi dengan penyakit atau malformasi. Secara individual, kelainan gen tunggal ini sangat jarang, namun dalam skala populasi menampakkan angka yang cukup signifikan dalam memunculkan penyakit. Frekuensi insiden diperkirakan 2,25/ 1000 kelahiran hidup. Saat ini telah diketahui bahwa 8% malformasi pada kelahiran disebabkan oleh kelainan gen tunggal .
Secara klinis pemeriksaan kelainan karena gen tunggal ini merupakan fenomena sindrom yang identifikasinya mengikuti konsep heterogenitas genetis. Beberapa ahli mengatakan bahwa penderita kelainan gen tunggal menampakkan ciri penampakan umum yang sangat khas, semisal tulang anggota yang pendek pada penderita kekerdilan (dwarfism)


Gambar 7. Kekerdilan a) penderita akondroplasia dan b) ibu dan anaknya berumur 6 tahun dengan kelainan hipokondroplasia. Kelainan ini diakibatkan oleh gen dominan autosomal(sumber: Persaud, dkk, 1985)

Penderita gen tunggal biasanya mempunyai banyak variasi seperti yang ditunjukkan oleh penderita sekuen Piere-Robin (hiplasia mandibular, glossoptosis, langit-langit bercelah berbentuk U), dimana kelainan ini mungkin disebabkan oleh faktor genetik (gen tunggal, kromosomal) atau karena pengaruh lingkungan.

3.2.3.1 Kelainan yang diwariskan secara autosomal dominan
Secara normal manusia memiliki 2 salinan informasi genetik (DNA) yang berasal dari kedua orang tuanya, satu diwariskan dari ibunya, yang satunya dari ayahnya. Beberapa kelainan genetis disebabkan karena perubahan secara langsung terhadap informasi genetis ini. Perubahan inilah yang disebut dengan mutasi gen. Kita semua membawa fenomena mutasi gen ini. Sebagian besar mutasi gen ini tidak mengganggu kesehatan kita, karena pasangan gen lain yang kita memiliki bekerja normal dan lebih baik daripada gen yang bermutasi ini, sehingga ekspresinya dapat menutupinya. Namun demikian ada pula yang memunculkan suatu kelainan, meskipun hanya satu gen dari pasangan gen tadi yang bermutasi, karena gen yang bermutasi tersebut bersifat dominan, kondisi inilah yang dikenal sebagai penyakit genetis dominan. Salah satu contoh penyakit ini adalah penyakit Huntington. Meskipun orang tuanya memiliki gen dominan, namun kemungkinan anaknya untuk mengalami penyakit genetis dominan ini sangatlah kecil, bahkan hampir tidak pernah. Penyakit gen dominan ini dapat didiagnosis dengan tes DNA tertentu.

Ada sekitar 1800 kelainan autosomal dominan yang ada pada manusia, namun sebagian besar merupakan kelainan biokimia yang khusus dan belum diketahui markernya. Diagnosis umumnya tergantung pada interpretasi klinis dari fenotipe dan silsilah keluarga.
Berikut adalah beberapa kelainan autosomal dominan
1. Achondroplasia
2. Aniridia
3. Sindroma Apert
4. Sindroma Crouzon
5. Sindroma Greig cephalopolysyndactily
6. Sindroma Marfan
7. Myotonic distrophy
8. Neurofibromatosis
9. Osteogenesis imperfecta
10. polycystic kidney diseases
11. Sindroma Rieger
12. Sindroma Van der Woude
Tabel 2. Kelainan dan penyakit yang disebabkan gen autosomal dominan

Sindroma Marfan merupakan kelainan autosomal dominan yang menunjukkan fenomena efek multipel dan fenotipe, yakni ditunjukkan dengan munculnya berbagai fitur yang diakibatkan oleh perubahan struktural dan fungsional jaringan ikatnya.




3.2.3.2 Kelainan yang diwariskan secara autosomal resesif
Sebagian penyakit genetis hanya akan muncul jika kedua gen mengalami mutasi, kondisi demikian yang kita kenal dengan penyakit genetis resesif. Seseorang yang hanya memiliki satu salinan/kopi dari gen resesif, tidak menderita dan kita kenal sebagai carrier/pembawa. Kita semua bersifat carrier untuk berbagai penyakit genetis resesif. Sebagain besar penyakit genetis resesif tidak diketahui sejarahnya dalam suatu keluarga. Penyakit ini frekuensi kemunculannya berbeda-beda di tiap-tiap negara yang didiami oleh etnis yang berbeda.
Kelainan ini umumnya genotipe parentalnya bervariasi dan biasanya bersifat carrier, dengan resiko memperoleh anak yang menderita sebesar 1 : 4 (25%). Konsangunitas merupakan faktor yang selalu terkait dengan parental dari penderita dengan probabilitas yang meningkat. Umumnya kelainan metabolisme adalah autosomal resesif dan banyak jenis sindroma yang berhubungan dengan pola pewarisan resesif ini.
Sindroma cerbro-hepato-renal (CHRS) Zellweger merupakan kelainan autosomal resesif yang berkaitan dengan penanda biokimiawi. Bayi yang menderita sindroma ini menderita hipotonia, seizure, dismorfisme kraniofasial, pembesaran hati (hepatomegaly), renal cysts dan abnormalitas kalsifikasi pada pelvis dan tulang anggota bawah. Kelainan-kelainan ini berhubungan dengan meningkatnya asam pipecolic sebagai senyawa intermediet asam empedu. Asam ini merupakan senyawa asam lemak berantai panjang yang menyebabkan gangguan pada rantai oksidasi. Penderita CHRS tidak memiliki peroksisom yang memproduksi enzim oksidase dan katalase. Kelainan metabolik inilah yang dapat dideteksi pada perkembangan awal embrio saat diagnosis prenatal dan postnatal.



Berikut ini adalah tabel frekuensi dari beberapa penyakit genetis resesif yang diketahui:

Penyakit Frekuensi/kelahiran Etnis yang beresiko tinggi
Cystic fibrosis 1/2500 Kaukasoid
Sickle cell anemia 1/625 Negroid
Penyakit Tay-Sachs 1/3600 Yahudi
-thalassemia 1/2000 Asia
- thalassemia 1/2500 Italia dan Yunani
Tabel 3. Frekuensi penyakit genetis resesif yang spesifik pada ras tertentu Sumber: www.givf.com

3.2.3.3 Kelainan terpaut X
Mutasi pada kromosom X dapat diwariskan baik secara dominan maupun resesif. Pola pewarisannya jika kelainan tersebut dibawa oleh ayah, maka akan diwariskan hanya kepada anak perempuannya, sedangkan jika ibunya yang membawa sifat tersebut, maka akan diwariskan baik kepada anak laki-laki maupun perempuan. Perempuan carrier tidak menampakkan gejala kelainan, hal ini dapat dijelaskan dengan adanya inaktivasi salah satu kromosom X secara random meskipun banyak gen-gen pada salah satu kromosom X-nya yang mengalami mutasi.
Kelainan gen terpaut seks X dominan nampak frekuensinya lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki. Kondisi pada populasi yang banyak ditemukan adalah individu heterosigot (carrier) yang fenotipnya normal. Pendeteksian kondisi carrier ini dapat dilakukan lewat konseling genetik dan dilanjutkan dengan pelacakan secara biokimiawi dengan marker-marker tertentu. Salah satu kelainan terpaut X adalah lethal autosomal resesif yang merupakan mutasi baru, yang resiko mendapatkan anak dari orang tua yang menderita persentasenya bervariasi hingga 50% (mutasi dapat terjadi pada sel benih bapak ataupun ibunya)
Berikut ini adalah daftar kelainan yang disebabkan oleh gen terpaut X


Jenis kelainan Sifat
Aarskog-Skott syndrome (faciogenital dysplasia) Resesif
Albinisme-oculer (2 form) Resesif
Albright osteodistrophy Dominan
Chondrodysplasia punctata Resesif/dominan
Coffin-Lowry syndrome Dominan
Peny. Fabri (-galactisidase A deficiency) Resesif
FG syndrome Resesif
Focal dermal hypoplasia Dominan
Hydrocephalus resesif
Ichthyosis (defisiensi steroid sulfatase) resesif
Lesch-Nyhan syndrome (defisiensi HPRT) Resesif
Menkes syndrome Resesif
Retardasi mental non-spesifik:
Reppening syndrome Resesif
Fragile X syndrome resesif
Testicular feminization syndrome resesif

Tabel 4. Beberapa kelainan yang disebabkan oleh gen terpaut X
3.2.4 Kelainan kromosomal
Kelainan kromosomal pada manusia diketahui 3 tahun setelah jumlah kromosom diploid pada manusia ditemukan oleh Tjio dan Levan pada tahun 1956, dengan temuan sindroma Down oleh Lejeune (1959), tiga dekade kemudian baru ditemukan berbagai jenis sindroma.
Penyebab utama cacat lahir adalah abnormalitas pada kromosom. Secara individual, kromosom merupakan tempat dari seluruh gen yang ada. Untuk mengilustrasikan perbedaan antara kromosom dan gen, jika kromosom adalah sebuah buku, maka gen adalah halaman yang adal di dalamnya. Sehingga untuk melihat susunan halaman di dalam sebuah buku, kita tidak dapat hanya melihat bagian luarnya saja. Dalam hal yang sama kita tidak dapat memberikan informasi tentang kondisi dan cara kerja gen dengan hanya mengamati kromosomnya saja. Uji terhadap suatu gen tidak menggambarkan kondisi kromosomnya, sebaliknya uji terhadap kromosom tidak dapat juga menggambarkan kondisi gen-gen di dalamnya.
Di dalam setiap sel normal manusia memiliki 46 buah kromosom yang tersusun menjadi 23 pasangan kromosom. 22 pasang dinomori dan diurutkan dari yang terbesar sampai yang terkecil dan sama baik pada laki-laki maupun perempuan. Pasangan yang ke 23 merupakan kromosom seks/kelamin, yang pada wanit memngandung tipe yang sama, yakni kromosom X, sedangkan pada laki-laki mempunyai 2 tipe kromosom yang berbeda, yaitu X dan Y, sehingga secara genetis diekspresikan 46, XX untuk perempuan dan 46, XY untuk laki-laki.
Untuk mengamati kromosom dapat digunakan berbagai jenis sel, terutama sel-sel yang aktif membelah. Sel dibiarkan untuk membelah dan dihentikan pembelahannya pada tahap tertentu untuk pengamatan kromosom, kemudian diwarnai untuk memperjelas penampilan kromosom, lalu kromosom tersebut difoto di bawah mikroskop. Sel diamati dan jumlah kromosom dihitung, dicermati pasangannya dan diatur berpasang-pasangan untuk didokumentasikan. Dokumentasi pasangan kromosom disebut sebagai kariotipe.
A) B)
Gambar 13. Kariotipe penderita sindroma Down,s (A) dan wanita normal (B) (sumber: Klug & Cummings, 1991)
Kelainan kromosomal merupakan modifikasi dari keadaan normal kromosom, dimana pada individu yang normal, jumlah set kromosomnya adalah diploid. Modifikasi bisa terjadi dalam hal perubahan jumlah kromosom secara individual ataupun perubahan susunan gen-gen yang ada dalam kromosom. Semua perubahan ini disebut sebagai mutasi kromosom atau aberasi kromosom.
A. Perubahan jumlah kromosom
Variasi jumlah kromosom dapat berupa penambahan atau pengurangan satu atau lebih set kromosom haploid. Jika individu mengalami penambahan atau kehilangan satu atau lebih kromosom, namun merupakan set kromosom yang tidak lengkap, maka kondisi ini disebut aneuploidi. Sebaliknya jika menerima atau kehilangan satu set atau lebih satu set kromosom lengkap, disebut euploidi. Jika satu individu memiliki 3 set kromosom haploid, kondisinya disebut triploid, dan jika lebih dari 3 set kromosom haploid disebut poliploid.
Kondisi Susunan dan jumlah set kromosom
Aneuploidi 2n +/- kromosom
Monosomi 2n - 1
Trisomi 2n + 1
Tetrasomi, pentasomi dsb. 2n + 2, 2n + 3 dsb.
Euploidi Penggandaan n
Diploidi 2n
Poliploidi: 3n,4n, 5n,......
Triploidi 3n
Tetraploidi, pentaploidi dsb. 4n, 5n, dsb
Autopoliploidi Penggandaan genom yang sama
Allopoliploidi Penggandaan genom yang berbeda

Tabel 5. Terminologi berbagai variasi kromosom

A.1. ANEUPLOIDI
Contoh kasus aneuploidi yang sering digunakan adalah kasus monosomi yakni hilangnya satu kromosom sehingga menjadi 2n – 1, atau terjadinya trisomi; bertambahnya sebuah kromosom, sehingga terbentuk kondisi 2n + 1. jika ada tambahan 2 buah kromosom akan terbentuk tetrasomi 2n + 2.

A1.1 Sindroma Turner’s
Monosomi pada kromosom seks disebut model Protenor (XX/XO) sedangkan kondisi normalnya Lygaeus (XX/XY). Kasus XO dikenal dengan sindrom Turner. Individu sindrom Turner berjenis kelamin luar wanita, namun organ kelamin internalnya (ovarium dan saluran genetalia) mengalami reduksi, berukuran tubuh pendek, leher pendek bersayap, dengan dada yang melebar. Jumlah kromosom penderita sindrom Turner ini 45 buah, dimana di dalamnya terdapat hanya 1 kromosom X (45, X). Kondisi ini disebabkan karena adanya peristiwa non-disjunction pada kromosom seks saat meiosis. Frekuensi kemunculan sindrom Turner adalah 1/3000 kelahiran bayi wanita, embrio dengan 45, X seringkali ditolah tubuh dengan abortus spontan, sehingga frekuensi kemunculan sindrom ini lebih kecil dibandingkan yang lain.

Gambar 14. Postur dan Kariotipe penderita sindroma Turner(sumber: Klug & Cummings, 1991)

A.1.2 Sindroma Klinefelter’s
Sindroma Klinefelter memiliki ciri organ kelamin eksternal dan internalnya jantan, namun testisnya tidak mampu membentuk sperma sehingga individu ini steril. Meskipun ciri kelamin jantan yang muncul, namun ada beberapa ciri wanita juga dimiliki seperti berkembangnya puting susu, perilaku sosial yang interseks. Individu dengan kelinan ini kondisinya 47 kromosom yang terdiri atas 44 autosom dan 3 kromosom seks (47, XXY) adanya kromosom Y inilah yang menyebabkan berkembangnya ciri-ciri jantan (maskulinasi). Frekuensi sindroma Klinefelter adalah 2/1000 kelahiran bayi laki-laki. Kariotipenya bervariasi 48, XXXY, 48, XXYY,49, XXXXY, yang secara fenotipik sama dengan 47, XXY.

Gambar 15. Postur dan kariotipe penderita sindroma Klinefelter (sumber: Klug & Cummings, 1991)

A.1.3 Sindroma Down’s
Sindrom Down’s merupakan salah satu jenis trisomi pada kromosom no 21 (trisomi 21) yang frekuensi kemunculannya 3/2000 kelhiran hidup. Ciri-ciri yang dapat diamati pada penderita adalah bentuk kelopak mata yang khas yakni adanya lekuk epicanthic di sudut mata, umumnya berbadan pendek, kepala kecil dan bundar, lidah pendek melengkung yang menyebabkan mulut selalu terbuka, tangan pendek dan besar dengan garis-garis di telapak tangan dan jari tangan (dermatoglifik) yang khas. Secara fisik, psikomotor dan perkembangan mental terhambat sehingga seringkali penderita memiliki IQ kurang dari 70, harapan hidup pendek, sedikit yang mencapai 50 tahun. Seringkali mengalami kelainan saluran respirasi, malformasi jantung dan peluang mengalami leukemia 15 kali lebih besar dibanding anak normal.
Sebagian besar umumnya sindrom Down’s tidak diturunkan pada sebuah keluarga yang tidak mempunyai riwayat sindrom Down’s. Resiko mendapatkan sindrom Down’s meningkat seiring dengan peningkatan umur ibu. Tidak diketahui dengan pasti kenapa sel telur atau sel sperma membawa kelebihan kromosom. Namun data menunjukkan bahwa dengan meningkatnya umur seorang wanita, akan mempunyai peluang lebih besar untuk mengalami kehamilan yang abnormal baik kelebihan atau kekurang jumlah kopi kromosomnya. Sel telur berada dalam tubuh wanita selama umur dari wanita tersebut. Sindrom Down’s dan abnormalitas kromosomal yang lain dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh wanita dengan umur berbeda-beda, namun akan meningkat frekuensinya seiring dengan peningkatan umur seorang wanita. Tabel berikut menggambarkan perubahan resiko untuk tiap-tiap kelompok umur.
Umur Resiko mengalami abnormalitas kromosom
20 1/525
25 1/475
30 1/380
35 1/180
38 1/105
40 1/65
42 1/40
45 1/20
Tabel 6. Hubungan peningkatan umur wanita dengan laju kelahiran bayi dengan resiko mengalami abnormalitas kromosom (termasuk sindrom Down)

Tipe kelainan kromosom yang kedua adalah kelainan struktural kromosom. Kondisi ini muncul jika sebagian kromosom hilang atau bertambah atau berlekatan dengan bagian kromosom yang lain akibat dari non-disjunction saat meiosis. Contoh yang sering ditemukan adalah translokasi kromosom yang diakibatkan oleh bertukarkan sebagian kromosom dari 2 buah kromosom yang berbeda. Perubahan struktural ini bisa dibawa baik oleh kromosom ayah ataupun ibu. Kondisi ini dikenal sebagai familial chromosome rearrangement. Jika kesalahan struktural ini terjadi pada awal perkembangan fetus dan akan menyebabkan cacat lahir, maka kondisi ini disebut de novo(a first time) chromosome rearrangement. Tidak ada hubungan antara resiko mengalami kelainan struktural ini dengan umur orang tua.

Gambar 16. Kariotipe dan anak penderita Sindroma Down(sumber: Klug & Cummings, 1991)

Gambar 17. a) Empat laki-laki yang menderita sindroma Fragile X, wajah panjang dengan rahang dan telinga yang menonjol besar. b) Kariotipe penderita fragile X(sumber: Persaud, dkk, 1985)


Gambar 18. Penderita Sindroma Prade-Willi; retardasi mental, diabetes mellitus, obesitas, dahi sempit, mata model almond. Kromosom no. 15 kehilangan band q 12 akibat delesi. (sumber: Persaud, dkk, 1985)

3.2.5 Kelainan multifaktorial

Sebagian besar cacat lahir yang terjadi adalah akibat dari kombinasi faktor-faktor yang ada di lingkungan sekitar dengan sebagian sifat atau genetik induk. Suatu kelahiran dikatakan mengalami cacat lahir multifaktorial jika terdapat banyak faktor yang berbeda secara bersama-sama menyebabkan permasalahan tersebut muncul. Dua contoh cacat lahir yang umum adalah kelainan jantung kongenital dan bibir sumbing yang keduanya merupakan contoh kondisi multifaktorial. Diperkirakan mendekati 1 diantara 200 bayi yang lahir dengan mengidap kelainan jantung kongenital dan 1 bayi dalam 500 mengalami cacat bibir sumbing. Contoh lain kondisi multifaktorial adalah spina bifida yang merupakan kelainan pembentukan bumbung neural. Kemungkinan kemunculan kelainan ini adalah 1 bayi dalam 500hingga 1 dalam 1000 kelahiran. Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung asam folat dapat mengurangi resiko memperoleh bayi dengan cacat spina bifida.
Pemeriksaan ultrasonografi terhadap fetus yang dilakukan pada umur kehamilan antara 18 hingga 22 minggu dapat mendeteksi beberapa kelainan multifaktorial. Spina bifida terjadi karena terbukanya kolumna spinalis, maka dapat dideteksi dengan mengukur kandungan protein khusus dalam darah ibu atau cairan amnion. Protein yang dimaksud adalah Alfa Fetoprotein (AFP).

Gambar 19. Dua tipe sumbing pada anak-anak suku Indian, unilateral (kiri) dan bilateral (kanan) bibir dan langit-langit bercelah(sumber: Persaud, dkk, 1985)


Terlepas dari silsilah keluarga dan berapa jumlah anggota keluarga yang menderita suatu kelainan, ada berbagai faktor yang berhubungan dengan kemunculan dan resiko malformasi yang diwariskan secara multifaktorial sebagai berikut:
1. Tingkat keparahan malformasi; resiko kemunculannya lebih tinggi pada penderita dengan tingkat keparahan kelainan yang tinggi.
2. Jenis kelamin; kelainan bumbung neural lebih banyak dijumpai pada perempuan, jika terjadi pada laki-laki, maka resiko kemunculannya kembali akan menjadi lebih tinggi.
3. Latar belakang etnis/ras; kelainan bumbung neural lebih banyak dijumpai di barat laut Inggris, wilayah Alexandia Mesir, dan Sikh. Kelainan bibir sumbing jarang ditemukan pada ras negroid, sedikit pada ras Kaukasoid dan banyak pada ras Oriental (gambar 18)
4. Sosial ekonomi; kelainan bumbung neural lebih banyak dijumpai pada wanita yang status sosial ekonominya rendah.
5. Konsanguinitas; kelainan multifaktorial akan mempunyai peluang muncul lebih tinggi pada keluarga yang membawa gen kelainan ini.
Ada beberapa kelainan gen tunggal, kelainan kromosomal dan kelainan yang disebabkan pengaruh obat-obatan (phenocopies) seringkali menunjukkan kelainan yang berhubungan dengan kelainan yang diwariskan secara multifaktorial. Sebagai contoh adalah kelainan bibir sumbing 90% lebih diwariskan secara multifaktorial, namun ternyata secara etiologis masih ada 154 jenis sindrom kelainan yang berbeda (Cohen, 1978).
Faktor genetis dan lingkungan seringkali sulit untuk dideteksi dan diukur, namun faktor lingkungan lebih menjadi fokus perhatian, karena faktor ini lebih mudah dimanipulasi dan dikontrol dibandingkan faktor genetis. Studi di Inggris menunjukkan bahwa faktor nutrisi dan pemberian vitamin memainkan peran penting dalam kejadian kelainan bumbung neural (gambar 19). Perlakuan dengan pemberian multivitamin pada ibu hamil yang mempunyai resiko mempunyai anak cacat bumbung neural, ternyata dapat menurunkan potensi kemungkinan mempunyai anak dengan cacat tersebut.

Gambar 20. Spina bifida


3.2.6 Pengenalan sindroma yang belum diketahui etiologinya

Etiologi dari kelompok kelainan tertentu dengan karakteristik berupa kombinasi yang membentuk suatu sindroma, masih sulit dipahami. Meskipun etiologinya belum diketahui, namun pengenalan terhadap kelainan ini tetap diperlukan untuk kepentingan konseling genetik. Beberapa kelainan yang sudah cukup banyak dipelajari adalah sindroma Cornelia de Lange (gambar 21), cerebral gigantism (sindroma Soto), sindroma Rubinstein-Taybi dan sindroma William (Gambar 22)

Gambar 21. Tipikal fitur anak yang menderita Sindrom Cornelia de Lange. Alis yang bertemu di tengah, hidung agak menghadap ke atas, philtrum panjang dan berbibir tipis. Kedua penderita ini mengalami retardasi mental, kalainan jantung dan kelainan anggota distal(sumber: Persaud, dkk, 1985)



Gambar 22. Bayi umur 4 bulan dengan Sindroma William dengan ciri hypercalcemia, pertumbuhan terhambat(sumber: Persaud, dkk, 1985)




BAB IV
PENYEBAB KELAINAN PERKEMBANGAN

Penyebab sebagian besar malformasi tidak diketahui. Faktor genetik yang meliputi aberasi kromosom dan pewarisan genetik memberi kontribusi sebesar 25%, sedankan faktor lingkungan tidak lebih dari 10%. Dengan membandingkan keduanya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa munculnya malformasi pada manusia peranan faktor lingkungan cukup kecil, meskipun trend yang ada menunjukkan bahwa faktor ini meningkat peranannya. Dari akumulasi kasus yang tercatat sekarang, kemunculan kelompok kelainan perkembangan lebih banyak diinduksi oleh kombinasi interaksi antara faktor lingkungan dan genetik.
Eksperimen terhadap hewan bunting yang diinduksi dengan berbagai agen teratogenik diketahui bahwa lebih dari 600 jenis agen eksogen berpotensi untuk menjadi teratogen yang dapat menginduksi munculnya malformasi terhadap keturunan., tetapi hanya kurang dari 25 jenis yang teratogenik terhadap manusia. Karena adanya banyak kesulitan dalam melakukan ekstrapolasi secara laboratoris terhadap spesies-spesies ataupun antara strain satu dengan strain yang lain dalam spesies yang sama, sehingga ini merupakan hal yang sangat menyulitkan, terutama untuk memastikan efek teratogenik yang terjadi pada hewan untuk berlaku pada manusia, sangat tidak mungkin. Sebagai contoh, aspirin yang tidak teratogenik pada manusia, namun bersifat teratogen kuat pada beberapa spesies hewan, sebaliknya thalidomide yang sangat tertaogenik pada manusia, ternyata pada hewan, sifat teratogenik tersebut hanya berlaku untuk strain kelinci tertentu saja.
4.1. TERATOGEN LINGKUNGAN
Dari studi retrospektif yang telah dilakukan, ditemukan terdapat hubungan yang kuat antara faktor lingkungan tertentu dengan kemunculan suatu malformasi.
4.1.1 Obat-obatan
a. Obat-obatan yang dikonsumsi ibu hamil
Obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu hamil ternyata sangat tinggi. Studi di berbagai negara merupakan referensi yang sangat mendukung kenyataan ini. 90% dari 3.072 ibu hamil paling sedikit mengkonsumsi satu jenis obat, sementara 4% mengkonsumsi paling sedikit 10 jenis obat (Peckam dan King, 1963). Bleyer et al., (1970) melaporkan bahwa wanita hamil rata-rata mengkonsumsi 8,7 jenis obat, 80% inisiatif sendiri dan 20%nya dari resep dokter. Studi awal di RS Queen Victoria Medical Centre, Melbourne - Australia diperoleh data bahwa 62,5% wanita hamil menggunakan obat selama kehamilannya, masing-masing rata-rata mengkonsumsi 3 jenis obat (Rao dan arulappu, 1981).
Studi terhadap 1.142 wanita hamil di Discoverer’s Memorial Hospital, Florida, Tranvaal Afrika Selatan, mengungkapkan bahwa 499 (44%) ibu hamil mengkonsumsi satu atau lebih obat pada trimester pertama (Jacobs, 1975). Trend yang sama terjadi pada studi di 10 rumah sakit berbeda di Swedia (Kullander dan Kallen, 1976).
NIH Collaborative Perinatal Study mengungkapkan bahwa terdapat 900 jenis obat yang dikonsumsi oleh wanita hamil. Konsumsi rata-rata adalah 4 jenis obat per wanita hamil, tidak termasuk zat besi dan vitamin. Jenis obat yang yang biasa dikonsumsi adalah: analgesik, besi, vitamin, antasida, sedatif, antiemetiks, antibiotik, antihistamin dan diuretik.
b. Obat-obatan teratogenik
dari berbagai jenis obat yang dikonsumsi wanita hamil, ternyata ada beberapa jenis yang bersifat teratogenik pada manusia, obat-obatan tersebut adalah thalidomide, antagonis asam folat (aminopterin), hormon steroid dengan aktivitas androgenik, diethylstilbestrol dan beberapa zat antikonvulsan, metil merkuri organik, antikoagulan tertentu (walfarin) dan alkohol.
b.1 Thalidomid (-pthalimidoglutaramide)
Merupakan derivat asam phtalat dan -aminoglutaramide, merupakan teratogen klasik pada manusia. Tercatat kurang lebih 10.000 anak yang menjadi korban obat ini, yang menyebabkan kelainan khusus berupa reduksi anggota tubuh, yang meliputi: amelia, phocomelia, dan reduksi jari jemari. Kelainan yang diderita biasanya bilateral, karena selain mengalami kelainan di atas, biasanya bayi juga mengalami tidak terbentuknya teling luar dn dalam, tuli, hemangioma pada kepala depan, kelainan jantung dan malformasi pada sistem urinari dan gastrointestinal.
Jumlah thalidomide yang dikonsumsi bukan merupakan faktor kritis untuk memunculkan malformasi, namun yang lebih menentukan adalah waktu dikonsumsi saat hamil. Masa kritis yang paling dipengaruhi oleh thalidomide adalah jika dikonsumsi pada umur kehamilan 35 – 48 hari setelah menstruasi terakhir.
Thalidomide tidak bersifat toksik pada rodensia, hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, sifat kelarutannya yang rendah dan jenis pelarutnya, waktu dan cara pemberiannya, hal ini dibuktikan jika thalidomid yang dilarutkan dalam dimetilformamida yang diberikan secara intra vena ternyata tidak bersifat embriotoksik dan teratogenik pada tikus. Thalidomid yang diberikan secara oral dengan dosis moderat pada saat kritis yang tepat akan bersifat teratoge pada beberapa primata. Thalidomid bersifat teratogenik diduga karena adanya cincin glutaramida dan ketidakmampuan memetabolisir asam glutamat dalam sistem tubuh.

Gambar 23. Penderita phocomelia bilateral dan hemangioma kecil pada kepala bagian depan akibat thalidomid(sumber: Persaud, dkk, 1985)

b.2 Aminopterin dan Methotrexate (antagonis asam folat)
Studi terhadap 41 kasus wanita hamil yang mengkonsumsi aminopterin dan methylaminopterin, delapan bayi mengalami malformasi dengan satu atau beberapa anomali sebagai berikut: retardasi pertumbuhan, hidrosefalus, micrognatia, cranial dysplasia, langit-langit bercelah, anencephaly, dan meromelia.
Diagnosis terhadap sindroma ambriopati aminopterin didasarkan atas anomaly permanent yang ditunjukkan oleh penderita, yakni retardasi pertumbuhan prenatal dan postnatal, osifikasi tulang cranial yang gagal, synostosis sutural coronadan lamdoidal, munculnya rambut frontal, ocular hypertelorism, pematang hidung yang besar, mata menonjol, micrognatia, langit-langit bercelah, posisi telinga agak di bawah, tulang anggoata atas memendek, dislokasi pinggul, retardasi mental (gambar 24)

Gambar 24. Tampak depan dan samping penderita Sindroma Aminopterin. Ciri utama adalah mata menonjol, kulit kepala mengelupas, micrognathia, telinga terlipat ke bawah(sumber: Persaud, dkk, 1985)

Methotrexate juga menginduksi kemunculan berbagai kelainan pada wajah, kepala dan tulang anggota, meskipun obat in saat ini masih digunakan untuk pengobatan terapeutik, oleh sebab itu perlu diperhatikan secara khusus penggunaan agen-agen sitotoksik lain dalam terapi kemoterapi kanker, dan imunospressi, karena potensinya teratogeniknya. Kejadian langit-langit bercelah, kelainan okular, prematuritas dan aborsi spontan diketahui berkaitan dengan penggunaan Busulfan dan abnormalitas sistem urinaria berkaitan dengan penggunaan chlorambucil, vincristine, nitrogen mustard dan procarbazine. Efek teratogenik antagonis asam folat dapat dicegah dengan penggunaan asam folat.
b.3 Anticonvulsants
Sekitar satu dari 200 wanita hamil adalah penderita epilepsy yang memerlukan treatmen dengan menggunakan obat-obatan anticonvulsants. Kelainan kromosom, perdarahan neonatal dan malformasi multiple terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh penderita epilepsy yang melakukan terapi dengan anticonvulsants. Langit-langit bercelah, cacat jantung bawaan, kelainan skelet minor, microcephali, defisiensi mental, retardasi pertumbuhan intrauterine dan post natal, abnormalitas genetalia, abnormalitas dermatoglifik, malformasi traktus gastrointestinal, dan sebagainya muncul dengan frekuensi yang meningkat. Sindrom tertentu juga ditemukan sehubungan dengan penggunaan anticonvulsants tertentu.
Penderita epilepsy yang memerlukan terapi dengan anticonvulsants mempunyai peluang melahirkan anak normal sebesar 90%, namun resiko mempunyai anak dengan malformasi kongenitas dan cacat mental akan meningkat karena penyakit yang dideritanya ataupun karena pengobatan terhadap penyakit tersebut.
Pada berbagai kasus pengobatan, sering digunakan diphenylhydantoin, Phenobarbital atau kombinasi keduanya. Meskipun Phenobarbital tingkat keamanannya tinggi terhadap fetus, namun resiko teratogeniknya menjadi lebih tinggi saat embrio didedahkan pada kedua jenis obat tersebut.
Sindroma fetal hydantoin bercirikan adanya retardasi pertumbuhan intrauterine, defisiensi mental, raut wajah khas dengan hidung yang pendek, okuler hypertelorism, cleft lip dan atau cleft palate, ptosis, hypoplasia jari atau kuku, dan abnormalitas genetalia. Obat anticonvulsants lain yang teratogenik adalah trimethadione yang akibatnya muncul sebagai sindroma fetal trimethadione (gambar 25)

Gambar 25. Penderita sindroma fetal trimethadione, yang dicirikan dengan anomali wajah yang tipikal; hidung pendek, okular hypertelorism, kelambatan perkembangan, dan hypospadias.



b.4 Hormon seks wanita
Progestin telah lama digunakan untuk terapi pada kasus aborsi. Ibu hamil yang melakukan terapi dengan norethindrone atau derivat ethisterone sebagian besar melahirkan bayi perempuan yang mengalami virilisasi. Tingkat penyatuan labial dan pembesaran klitoris sangat tergantung pada dosis dan periode pendedahan (gambar 25). Peristiwa maskulinisasi ini dapat dijelaskan dengan konsep mekanisme exagregated atau heterotipisme interaksi hormon - reseptor pada jaringan targetnya yang masih bersifat bipotensial dalam pembentukan organ seksual selama diferensiasi.
Efek penggunaan diethylstilbestrol (DES) menyebabkan berbagai anomali yang meliputi terbentuknya adenokarsinoma sel-terang pada vagina, servik, pematang vagina dan adenosis, pematang serviks dan anomali uterus (uterus bentuk T, uterus hipoplastis dan polipoid). Dari kasus yang dipelajari, dua per tiga penderita mempunyai riwayat pendedahan prenatal terhadap diethylstilbestrol atau senyawa terkait. Resiko terbentuknya adenokarsinoma sel terang vaginadiperkirakan antara 0,14 hingga 1,4 per 1000 kasus terapi dengan DES. Pengaruh terapi DES terhadap laki-laki adalah terbentuknya anomali pada saluran reproduksi dan gangguan perubahan fungsional pada sistem reproduksi pria, seperti semen yang abnormal. Penggunaan kontrasepsi hormonal pada wanita hamil, meskipun diduga dapat bersifat teratogenik, namun fakta tidak menunjukkan bukti tersebut.

Gambar 26. Genetalia eksterna bayi perempuan yang ibunya menjalani terapi hormon androgen pada trimester pertama kehamilannya. Nampak adanya fusi labial dan pembesaran klitoris(sumber: Persaud, dkk, 1985)


b.5 Warfarin
Penggunaan walfarin sebagai obat dalam terapi antikoagulan pada wanita hamil masih menimbulkan kontraindikasi karena adanya efek samping teratogenik. Misalnya pada wanita hamil yang menjalani terapi walfarin karena mengalami kelainan katup jantung yang disebut prostetic cardiac valves, penderita diterapi dengan heparin karena mempunyai keistimewaan yaitu tidak menembus plasenta karena berat molekulnya yang tinggi.
Walfarin merupakan inhibitor kompetitif vitamin K yang dapat menyebabkan terjadinya hemorraghe pada fetus karena mengganggu sintesis factor pembekuan darah. Anomaly multiple yang dialami oleh fetus yang didedahkan pada walfarin di awal kehamilan diketahui berpeluang 25 – 50%. Kelainan tersebut dikenal dengan walfarin “embryopathy” yang meliputi kelainan: hipoplasia nasal dengan atau tanpa chondrodysplasia punctata, lengan pendek dan besar,jari jemari distal pendek, anomaly mata ( atropi optic, katarak, microphtalmia, hypertelorism) dan retardasi mental.

b.6 Alkohol
Ibu hamil yang alkoholik kronis akan melahirkan bayi yang mengalami berbagai kelainan dengan pola yang sangat khas, kelainan ini disebut sebagai “sindroma fetal alcohol”, yang menampakkan kelainan sebagai berikut: hambatan pertumbuhan prenatal dan postnatal, penghambatan perkembangan, mikrocephali, dismorfik wajah yang spesifik, lekuk palpebra pendek (gambar 26), hipoplasia maksilar, kelainan pada sendi, kelainan kardiovaskuler, abnormalitas genetalia eksterna, micrognatia, dan langit-langit bercelah. Pada beberapa studi juga ditemukan terjadinya kematian fetal awal peri natal, kelahiran prematur, berat badan lahir bayi yang rendah.
Resiko peluang seorang ibu alkoholik berat melahirkan bayi dengan sindrom fetal alcohol lebih dari 30%. Bagi ibu hamil yang bukan pengkonsumsi alcohol resiko tersebut sangat rendah yakni 2 – 3%. Studi terbaru yang dilakukan terhadap ibu hamil yang mengkonsumsi alcohol kronis mempunyai peluang sebesar 50 – 90% selain itu bayinya juga mengalami kelainan fungsi otak.
Ethanol yang ada dalam darah ibu hamil alkoholik mampu menembus plasenta dan terakumulasi pada jaringan fetus dan cairan amnion. Ethanol dan senyawa pecahannya (asetaldehid) bersifat embriotoksik dan teratogenik pada hewan percobaan. Konsumsi ethanol pada hewan coba menyebabkan berkurangnya jumlah anak dan berat badan bayi yang dilahirkan. Meskipun ethanol tidak teratogenik pada tikus, ternyata berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan intrauterine dan kemampuan motoris fetus.


Gambar 27. Tiga anak penderita sindroma fetal alkohol dengan ciri fisura palpebra sempit, hidung mendongak ke atas, philtrum panjang dan tidak jelas, bibir atas tipis. A dan B mengalami hambatan perkembangan dan pertumbuhan, microcephali, dan cacat jantung bawaan(sumber: Persaud, dkk, 1985)


b.7 Rokok
Berat badan bayi yang dilahirkan dari ibu perokok lebih rendah dibandingkan dengan bayi ibu bukan perokok. Resiko terjadinya kelahiran premature menjadi dua kali pada ibu perokok dan akan meningkat seiring dengan jumlah rokok yang dikonsumsinya. Keadaan ibu yang perokok juga berhubungan dengan peningkatan peluang terjadinya aborsi, kematian saat lahir dan kematian bayi.
Kandungan oksihemoglobin (CoHb) pada darah ibu perokok lebih tinggi dibandingkan yang bukan perokok. Pemeriksaan darah fetus menunjukkan bahwa fetus dari ibu perokok mempunyai kadar oksihemoglobin 1 – 8 kali lebih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah/konsentarsi oksigen dalam darah ibu dan fetus lebih rendah, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran kurva disosiasi oksigen dan menimbulkan kondisi hipoksia fetal yang merupakan penyebab terjadinya penghambatan pertumbuhan intrauterine. Pada beberapa penelitian lain ditemukan bahwa penyebab retardasi pertumbuhan ini juga dikarenakan oleh meningkatnya kadar tiosianat dalam darah maternal dan darah pada plasenta. Pada penelitian lain dikatakan bahwa nikotinlah penyebabnya.
Tinggi rendahnya berat badan bayi sangat ditentukan oleh pertambahan berat badan ibu selama hamil, oleh sebab itu diduga bahwa rendahnya berat badan bayi saat dilahirkan pada ibu perokok dikarenakan oleh kurangnya intake kalori saat hamil, keadaan ini diperjelas dengan fakta yang menyebutkan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu perokok berat mempunyai kepala yang lebih kecil dan lebih pendek.
Pernafasan bayi, pergerakan tubuh dan anggota badan bayi berkurang, peluang bayi menderita kelainan jantung juga meningkat. Kejadian tersbut tidak hanya ditimbulkan oleh ibu hamil yang perokok, namun juga ditemukan pada ayah yang prokok, meskipun ibunya bukan perokok aktif.

b.8 Narkoba
Meningkatnya penggunaan obat-obatan psikotropika sekarang ini menyebabkan berbagai efek buruk baik pada pribadi pemakai ataupun efek social. Pengguna obat-obatan psikotropika tercatat lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Data yang diperoleh menunjukkan rasio pengguna wanita: pria 2 : 1. Obat-obatan psikotropika mempunyai efekteratogenik dan mutagenic bagi pemakainya, khususnya ganja, heroin, LSD, phencyclidine (angel dusk), amfetamin dan barbiturate.
Efek yang teramati pada bayi yang dilahirkan dari ibu pengguna obat-obatan psikotropika adalah kematian embrional, berkurangnya jumlah anak yang dilahirkan, ukuran bayi yang kecil, abnormalitas gerakan neonatal.

b.9 Racun Industri dan rumah tangga
Wanita hamil yang bekerja di laboratorium kimia yang banyak sekali bermunculan sekarang ini, akan dihadapkan pada resiko yang sangat potensial terhadap gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayinya.
Merkuri merupakan polutan lingkungan yang sangat potensial dan efek toksiknya telah diketahui. Pada manusia, merkuri organic dapat menyebabkan munculnya kelainan neurologist dan perilaku. Senyawa merkuri organik bersifat sangat teratogenik pada mamalia laboratoris. Metilmerkuri merupakan senyawa merkuri paling toksik, karena dapat menembus barrier plasenta dan menyebabkan kerusakan jaringan otak fetus yang mendorong munculnya retardasi mental dan kelainan neurologis, oleh sebab itu disarankan pada wanita hamil untuk menghindari kontak dengan senyawa ini.
Efek teratogenik dari menghirup agen anastetik pada hewan coba adalah sebagai berikut: infertilitas, abarsi spontan, peningkatan kematian saat lahir, dan malformasi kongenital. Oleh sebab itu zat-zat anastetik harus dihindari oleh wanita hamil.

c. Infeksi Maternal
Secara umum tahap perkembangan akan menentukan frekuensi, keparahan dan tipe kelainan yang akan terjadi. Rute perjalanan infektan dalam tubuh induk hingga ke embrio yang sedang berkembang dapat melalui membran plasenta atau lewat kanal serviks. Infeksi rubella pada induk di awak kehamilan akan menyebabkan infeksi dan kerusakan plasenta yang akan diikuti dengan adanya invasi ke embrio. Virus herpes dapat mencapai embrio secara transamniotik. Cytomegalovirus dapat diisolasi dari cairan semen manusia, sehingga ada kemungkinan mekanisme infeksi secara vertical dari ayah ke embrio. Mekanisme patogenetik gangguan fetal pada infeksi intrauterine ini sebagian besar belum diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan melibatkan berbagai factor sebagai berikut: interupsi plasental (toksin yang beredar, demam, perubahan sirkulasi plasental), trombosis dan vasculitis plasental, kerusakan kromosomal, kematian sel, dan mekanisme imunologis.
Cytomegalovirus merupakan infeksi viral yang ditularkan ke fetus dan sangat sering terjadi. Akibat yang ditimbulkannya berhubungan dengan ketulian sensorineural, kerusakan otak dan retardasi mental. Frekuensi kejadiannya 0,1 – 0,3 dari kelahiran di Inggris dan Amerika. Frekensi infeksi congenital ini sangat berhubungan erat dengan tahap perkembangan janin saat infeksi terjadi. Frekuensinya mencapai 20% jika infeksi terjadi pada trimester pertama, 0% jika infeksi terjadi pada trimester kedua dan 40% jika infeksi terjadi pada trimester ketiga, selain itu ditemukan juga kondisi bayi berat badan rendah dengan gangguan perkembangan. Imunisasi vaksin CMV sebelum atau pada saat pubertas dapat membentuk antibody untuk virus ini sehingga imunitas terhadap virus ini sudah dimiliki.
Infeksi virus rubella merupakan masalah dunia yang muncul dengan siklus epideminya. Selama masa epidemi, 4% wanita hamil bisa terinfeksi dengan peluang 0,1 – 0,2% dalam populasi endemic. Transmisi intrauterin virus terjadi setelah infeksi primer ibu ataupun pada saat terinfeksi kembali. Resiko infeksi fetal adalah 30% jika infeksi terjadi pada trimester pertama, dan menurun jika infeksi terjadi pada waktu berikutnya dan masuk dalam fase non-eksis pada umur kehamilan 20 minggu. Infeksi embrio pada 8 minggu pertama akan menunjukkan gejala sindroma rubella yang paling fatal.
Herpes genital merupakan penyakit infeksi yang belum ditemukan obatnya, dan berhubungan dengan terjadinya aborsi spontan, kelahiran prematur, dan berat badan lahir yang rendah. Infeksinya terjadi melalui jalan lahir dan infeksi pada bayi terjadi saat bayi melewati bagian yang terinfeksi ini. Herpes saat neonatal dapat berakibat fatal yang bisa memunculkan kerusakan otak, retardasi mental, atau kematian.
Toxoplasmosis disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Seseorang bisa terjangkiti karena memakan daging mentah atau yang tidak dimasak hingga matang dari hewan yang terinfeksi atau melakukan kontak dengan feses kucing atau kucing yang terinfeksi. Selama kehamilan, infeksi fetus dapat terjadi jika infeksi tersebut pertama kali dialami oleh ibu. Meskipun sang ibu tidak menunjukkan tanda-tanda terinfeksi, namun toxoplasmosis dapat menyebabkan aborsi spontan, kematian bayi saat lahir, prematuritas, ataupun terjadinya cacat kongenital. Kejadian infeksi kongenital banyak terjadi jika ibu terinfeksi selama trimester akhir kehamilan. Meskipun bayi yang dilahirkan kelihatannya sehat dan sempurna, namun di kemudian hari akan menunjukkan berbagai gejala komplikasi. Bayi yang dilahirkan dalam kondisi toxoplasmosis akan berpeluang mengalami kerusakan otak, retardasi mental, dan anomali okuler yang dapat berupa kebutaan, mencapai 30%.
Sipilis kongenital dapat menyerang embrio pada berbagai stadium penyakit atau berbagai tahap perkembangan embrional. Akibat yang ditimbulkannya adalah aborsi spontan, kematian bayi saat lahir, atau bayi yang menderita sipilis kongenital. Berdasarkan umur anak, sipilis dapat dikategorikan menjadi dua yakni awal (di bawah 2 tahun) dan lanjut. Gejala yang tampak adalah tidak terbentuknya gigi, keratitis interstisial, tuli (gangguan pada saraf ke 8), kelainan kardiovaskuler, deformitas wajah. Sipilis kongenital dapat dideteksi secara klinis, uji serologis, dan data epidemiologi.
Gonorrhea merupakan penyakit yang ditularkan secara seksual, fetus dapat tertular saat melewati jalan lahir yang terinfeksi. Resiko yang terjadi adalah infeksi pada mata bayi yang dilahirkan.

d. Radiasi
Radiasi sering dihadapi oleh wanita yang sedang hamil baik untuk tujuan klinis ataupun karena hal yang lain. Radiasi yang dilakukan mengenai plasenta dan bahkan mengenai jaringan dan organ janin akan dapat menimbulkan resiko serius terhadap embrio yang sedang berkembang. Dengan dikembangkannya teknologi ultrasonografi untuk mendeteksi berbagai jenis kondisi organ dalam atau bahkan janin dalam uterus, maka penggunaan radiasi pada wanita hamil sekarang ini sangat berkurang. Resiko yang akan diterima oleh janin yang didedahkan dalam radiasi tertentu adalah malformasi fetal, retardasi mental, retardasi pertumbuhan intra uterin, leukemia, aberasi kromosom, dan aborsi. Tingkat kerusakan dan resiko sangat berkaitan dengan kekuatan radiasi yang diberikan.
Pemeriksaan dengan menggunakan peralatan ultrasonografi pada tahap organogenesis tidak menunjukkan gejala gangguan yang berbahaya pada janin, namun jika dilakukan pada kehamilan awal, akan dapat menimbulkan gangguan pada janin. Dalam skala laboratorium, studi terhadap kultur sel menunjukkan bahwa efek ultrasonografi adalah terhadap perkembangan fetal dan perubahan kromosomal.





Gambar 28. Penderitaan pada anak-anak akibat radiasi uranium di Irak


















REFERENSI


Klug, W.S., Cummings, M.R. 1991. Concepts of Genetics. Macmillan Publishing Company. New York.

Lamb IV, J., Foster, P.M.D., 1987. Physiology and Toxicology of Male Reproduction. Academic Press.Inc. London.

Lu, F.C. 1985. Basic Toxicology. Hemisphere Publishing Coorporation, Washington.

Persaud, T.V.N., Chudley, A.E., Skalko, R.G. 1984. Basic Concepts in Teratology. Alan R. Liss, Inc. New York

KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN VEGETASI STRUKTUR POHON PADA TAMAN WISATA ALAM TIRTA RIMBA WOLIO KOTA BAU-BAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pulau Sulawesi merupakan salah satu dari 3 pusat keanekaragaman hayati utama di Indonesia. Proses pembentukannya yang unik tertuang dalam garis imaginer Wallacea menempatkan keanekaragaman hayati kawasan ini berbeda dengan keanekaragaman hayati tipe Asia dan Australia. Keunikan keanekaragaman hayati di Sulawesi, terutama di pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya belum semuanya terungkap. Demikian pula dengan pemanfaatan tumbuhan sebagai bagian budaya masyarakat lokal belum banyak diketahui. Pemilihan pulau-pulau kecil sebagai lokasi eksplorasi dan penelitian dengan pertimbangan antara lain pulau-pulau kecil diduga memiliki kekayaan keanekaragaman yang tinggi (Anonim, 2006).
Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio seluas 488 ha, telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 440/Kpts-II/1994 pada tanggal 5 Oktober 1994 Proses penetapannya diawali pengusulan oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Rekomendasi No. Pta. 4/I/14 tanggal 8 Desember 1976, yang ditindaklanjuti dengan surat Dirjen Kehutanan kepada Menteri Pertanian dengan nomor 2256/DJ/I/1978 tanggal 15 Juli 1978. Menteri Pertanian kemudian menunjuk kompleks Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio seluas ± 448 ha sebagai hutan/taman wisata pada tanggal 24 Juli 1978 dengan Keputusan No. 459/Kpts/Um/7/1978. Setelah diadakan tata batas (Berita Acara Tata Batas disahkan pada tanggal 24 Maret 1987), luasnya berubah menjadi 488 ha (Anonim, 2006).
Kawasan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio, terdapat komunitas hutan seluas 488 ha. Sampai saat ini belum ada informasi lebih detail tentang komunitas hutan taman wisata alam tirta rimba wolio. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi tentang komposisi dan keanekaragaman vegetasi khususnya pada tingkatan pohon serta jenis yang terdapat pada kawasan hutan taman wisata alam tirta rimba wolio sebagai langkah awal yang dapat dijadikan ‘base data’ dalam kegiatan konservasi.
B. Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : bagaimana komposisi dan keanekaragaman vegetasi struktur pohon pada Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan keanekaragaman vegetasi struktur pohon pada Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi ilmiah bagi instansi dalam pengelolaan dan pengembangan jangka panjang Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio.
2. Pembanding untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini.
3. Melatih diri penulis untuk mengemukakan pendapat dan buah pikiran dalam tulisan sebagai layaknya suatu karya ilmiah.


II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Komposisi Tumbuhan
Komposisi tumbuhan merupakan susunan dan jumlah jenis yang terdapat dalam suatu komunitas (Polunin, 1990). Komposisi suatu tumbuhan pada setiap ekosistem dapat bervariasi, bergantung pada kondisi habitatnya. Lebih lanjut, Polunin (1990) menyatakan bahwa tumbuhan hanya dapat hidup di tempat yang sesuai bagi jenis tumbuhan tersebut. Jenis tumbuhan yang berbeda akan memerlukan kondisi yang berbeda pula. Berdasarkan pendapat tersebut tampak jelas bahwa kondisi setempat merupakan faktor utama dalam membatasi penyebaran jenis tumbuhan tertentu.
Kompisisi vegetasi merupakan salah satu konsep yang cukup penting dalam kajian ekologi tumbuhan. Odum (1993) menyatakan suatu komunitas, dan kestabilan ini dapat terjadi apabila ada keseimbangan antara jenis penyusun komunitas dengan lingkungan.
Untuk menggambarkan komposisi suatu komunitas tumbuhan, dapat dikaji melalui beberapa parameter komunitas, seperti jumlah jenis dan nilai penting. Untuk menentukan nilai penting, diperlukan indikator komunitas lain, yaitu densitas, frekuensi, dominasi dan nilai relatif masing-masing parameter tersebut.


Dikenal ada beberapa teknik sampling untuk mengkaji komposisi vegetasi dalam suatu komunitas, seperti tekhnik plot dan tanpa plot. Tekhnik tertentu yang dipilih hendaknya memenuhi beberapa persyaratan dan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Pemilihan suatu teknik tertentu juga harus memperhatikan tingkat keakuratan dan juga penting dipertimbangkan waktu dan tenaga yang tersedia (Hardjosuwarno, 1990).
B. Struktur Vegetasi Hutan
Hutan merupakan sistem yang hidup dan tumbuh, yang bersifat dinamis. Komunitas hutan terbentuk berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan dan reaksi terdapat tempat tumbuh serta stabilitas. Proses ini dikenal sebagai suksesi tumbuhan. Selanjutnya terjadi pergantian vegetasi hutan sehingga terbentuk proses suksesi berlangsung, tercapai stabilitas atau keseimbangan dinamis dengan komunitas hutan yang disebut vegetasi klimaks (Richard, 1952 dalam Junus, dkk. 1984). Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam komunitas hutan yang telah stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, seperti terjadi kematian pohon-pohon, munculnya anakan-anakan baru yang secara keseluruhan merupakan gambaran dinamika vegetasi.
Vegetasi terdapat berbagai jenis tumbuhan di seluruh wilayah atau daerah. Suatu tipe vegetasi menggambarkan suatu daerah dari segi penyebaran tumbuhan, baik berdasarkan ruang maupun waktu. Ekosistem rawa, ekosistem hutan, ekosistem lamun pada laut dangkal, dan padang rumput dapat dijadikan suatu contoh tipe vegetasi. Suatu tipe vegetasi kadang kala dibagi lagi ke dalam beberapa komunitas seperti jenis predominan, disebut asosiasi yaitu sekumpulan beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama di suatu lingkungan. Komunitas tumbuhan biasanya ditandai oleh jenis-jenis yang dominan (Odum, 1993).
Vegetasi terbentuk oleh atau terdiri atas semua jenis tumbuhan dalam suatu wilayah (flora) dan memperhatikan pola distribusi menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal). Vegetasi menggambarkan perpaduan berbagai jenis tumbuhan di suatu daerah atau wilayah. Jika suatu wilayah berukuran luas, vegetasinya terdiri atas beberapa bagian vegetasi atau komunitas tumbuhan yang menonjol, sehingga terdapat berbagai tipe vegetasi. Tiap tipe vegetasi bercirikan oleh bentuk pertumbuhan dan tumbuhan karakteristik. Contoh bentuk pertumbuhan termasuk herba tahunan, pohon selalu hijau berdaun lebar, semak yang merangsang pada waktu kering, tumbuhan dengan umbi atau rhizome, tumbuhan selalu hijau berdaun jarum, rumput menahun, dan semak kerdil (Hardjosuwarno, 1990).
Hilangnya vegetasi dapat mengubah kimiawi tanah, sehingga sebagian hara kurang terikat dengan partikel-partikel tanah tercuci, maka dapat diketahui bahwa pengrusakan vegetasi tidak saja meninggatkan erosi oleh angin dan air. Tetapi juga ketandusan akibat hilangnya kesuburan tanah yang tertinggal (Suwarsono, 1986).
Setiap komunitas tumbuhan yang stabil mempunyai susunan vertikal atau stratifikasi jenis-jenis. Kesan ini cocok bagi pinggiran hutan dimana penyinaran yang kuat mengakibatkan bagian tepi sangat lebar, tetapi bagian dalam hutan dapat dilihat dari pinggir (misalnya batas tepi hutan yang mendadak karena penebangan baru) akan terlihat bahwa hutan dapat dibagi menjadi lima lapisan atau lebih yang cukup jelas dan secara konvensional diberi nama lapisan A sampai E (Richard, 1952 dalam Junus, dkk., 1984).
1. Lapisan pohon dengan tinggi lebih dari 30 meter (lapisan A). Lapisan ini membentuk kanopi bagi lapisan di bawahnya. Atau mungkin juga diwakili oleh pohon-pohon yang menyendiri atau mencuat (emergent) di atas kanopi semua.
2. Lapisan pohon dengan tinggi 20-30 meter (lapisan B) yang merupakan lapisan kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan.
3. Lapisan pohon-pohon kecil dengan tinggi 4-20 meter (lapisan C). Banyak diantara lapisan pohon-pohon pada lapisan ini adalah anakan jenis-jenis pohon-pohon kecil mencirikan lapisan ini.
4. Lapisan perdu (lapisan D) yang terdiri atas perdu, pohon-pohon muda, terna tinggi, dan paku-pakuan besar. Tinggi rata-rata 1- 4 meter.
5. Lapisan permukaan tanah (lapisan E) yang biasanya terdiri atas terna dan perdu-perdu kecil yang jarang dengan tinggi kurang dari 1 meter.
Dansereau (1957) dalam Muller – Dombois dan Ellenberg (1974) mengemukakan bahwa ekologi vegetasi paling sedikit membagi struktur vegetasi dalam 5 level yaitu : (1) fisiognomi vegetasi, (2) struktur biomassa, (3) struktur bentuk hidup, (4) struktur floristik, dan (5) struktur tegakan, sedangkan Kershaw dan Looney (1985) membedakan struktur vegetasi menjadi 3 komponen yaitu :
1. Struktur vertikal, meliputi tingkat pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan mulai dari tingkat anakan sampai tingkat pohon.
2. Struktur horizontal (distribusi spatial populasi jenis dan individu), yaitu individu yang pertumbuhannya menyebar pada kawasan tersebut.
3. Struktur kuantitatif meliputi kelimpahan atau keanekaragaman jenis, dengan distribusi dari masing-masing jenis yang mencakup densitas, frekuensi, dominansi dan sebagainya.
C. Komunitas
Komunitas merupakan unit dasar penyusun suatu vegetasi yang didefinisikan sebagai kumpulan organisme hidup yang saling berinteraksi baik diantara organisme maupun dengan lingkungannya (Oosting, 1956 dalam Analuddin, 1997).
Menurut Odum (1993) bahwa komunitas biotik adalah kumpulan berbagai populasi yang hidup dalam daerah atau habitat fisik, serta merupakan satu kesatuan yang teratur dan mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai unit transformasi metabolik yang berinteraksi. Lebih lanjut, Dansereau (1957) dalam Muller - Dombois dan Ellenberg (1974) mengemukakan bahwa komunitas tumbuhan sebagai organisme secara spatial dan temporal dengan perbedaan integrasi.
Komunitas tumbuhan adalah satuan atau unit yang membentuk suatu vegetasi. Komunitas terbentuk tidak sekedar persatuan tumbuhan secara acak yang hanya berdasarkan kesempatan semata-mata, tetapi komunitas tumbuhan berupa suatu organisme kompleks dengan komposisi floristik secara tipikan dengan sistem morfologi tertentu, serta merupakan hasil interaksi populasi jenis menurut waktu yang lama (Hardjosuwarno, 1989).
Di luar pengaruh interaksi dalam komunitas, tumbuh-tumbuhan saling memberi tempat, habitat dan lingkungan secara bersama. Jadi integrasi dalam komunitas adalah fenomena yang telah terbentuk dengan perbedaan tingkat organisme komunitas yang terintegrasi baik, mempunyai resistansi tertentu terhadap goncangan lingkungan, serta perubahan lingkungan spesifik yang juga dapat menyebabkan tanggapan yang dapat dilihat dalam suatu komunitas (Hardjosuwarno, 1989).
Alechin (1927) dalam Muller-Dombois dan Ellenberg (1974) membedakan dua cara menentukan komunitas tumbuhan di lapangan yaitu : (a) tumbuhan dapat membentuk kelompok terbuka, dan (b) tumbuhan dapat membentuk kelompok tertutup. Dalam bentuk kelompok tertutup peneliti dapat membedakan penempatan tanpa integrasi tegakan murni secara temporal atau permanen. Lebih lanjut dijelaskan bahwa komunitas termasuk dalam tegakan populasi campuran yang terdapat dalam bentuk tertutup.
Komunitas tumbuhan terdiri atas unit-unit atau tegakan. Tegakan merupakan unit agak homogen yang dapat dibedakan dengan jelas oleh komposisi, umur, struktur, tempat tumbuhan, atau geografi. Barbour et al, (1999) mengemukakan bahwa tegakan merupakan tempat atau lokasi suatu penelitian dilakukan.
Struktur tegakan dapat dilihat berdasarkan perbedaan beberapa hal antara lain struktur umur atau stadium perkembangan. Struktur umur populasi dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran kelas, kelas tinggi untuk herba dan semai serta kelas diameter untuk diameter pohon. Struktur umur suatu tegakan dengan umur yang sama dapat didasarkan pada beberapa kriteria seperti diameter batang. Pendekatan yang sama dapat dilakukan pada stand tidak seumur, namun individu-individu yang tertua tidak lebih besar atau dominan setara (Smith, 1990 dalam Analuddin, 2002).
D. Faktor-Faktor Habitat
Supaya tumbuhan dapat tumbuh dengan berhasil pada suatu lingkungan tertentu, maka lingkungan harus mampu menyediakan berbagai keperluan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena itu sifat-sifat suatu lingkungan tidak hanya bergantung kepada kondisi fisik dan kimia tetapi juga pada kehadiran organisme-organisme lain. Beberapa faktor lingkungan yang berperan penting yaitu :
1. Faktor iklim. Iklim dapat menentukan jenis vegetasi dan fauna yang hidup di suatu daerah. Sebagai contoh, di daerah khatulistiwa pada daerah tropik basah terdapat vegetasi dengan daun yang lebat dan selalu hijau, dan pada daerah iklim musim terdapat jenis-jenis yang menggugurkan daunnya. Sedangkan pada daerah iklim kering terdapat savana berkayu.
2. Faktor tanah. Tanah adalah tempat pohon-pohon tumbuh mempertahankan diri dengan menggunakan perakarannya untuk berpijak dan mengambil air serta zat makanan dalam tanah. Penyusun tanah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, seperti air tanah, unsur hara, bahan organik, organisme hidup dan udara dalam tanah.
3. Faktor biotik. Faktor biotik yang ditimbulkan oleh makhluk hidup baik hewan maupun tumbuhan seperti kompetisi, mutualisme, dan berbagai bentuk interaksi lain yang ke semuanya ini terjadi di dalam suatu vegetasi alam yang sangat mempengaruhi keadaan vegetasi setempat.
4. Faktor angin. Angin pada umumnya mempengaruhi faktor-faktor ekologi lainnya, pengaruh langsung pada vegetasi terutama dengan menumbuhkan pohon-pohon atau mematahkan dahan pohon. Angin berpengaruh terhadap tanah, biasanya bersifat mengeringkan atau kadang-kadang dengan arah berlawanan, yaitu membawa udara yang dapat menurunkan transpirasi dan evaporasi (Richard, 1952 dalam Junus, dkk, 1984).


E. Penilaian Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis
Dalam komunitas alami biasanya ada beberapa jenis yang melimpah dan ada jenis yang jarang, walaupun polanya tetap namun akan berbeda apabila populasi itu diperbandingkan. Loveless (1987) menyatakan bahwa komunitas merupakan suatu pengelompokkan acak dari populasi. Suatu lokasi dengan banyak objek yang tidak identik nampak secara statistik berstruktur, bahkan berbeda secara acak dan tidak berinteraksi.
Adanya beberapa keterbatasan dalam penafsiran kelimpahan secara visual maka metode kuantitatif dengan maksud untuk menghilangkan pertimbangan subjektif pengamat. Metode kuantitatif untuk menilai kelimpahan berpijak pada pengamatan kelimpahan yang sesungguhnya dalam sejumlah cuplikan (contoh) luas komunitas dan kemudian hasilnya digunakan untuk menaksir kelimpahan dalam komunitas secara keseluruhan. Sejalan dengan hal ini, Loveless (1989) menyatakan bahwa karena cuplikan-cuplikan yang dianggap mewakili keseluruhan komunitas maka cuplikan tersebut harus diambil secara acak. Metode pencuplikan secara acak diterapkan untuk menghilangkan kecenderungan yang disengaja atau tidak disengaja.
Lebih lanjut Loveless (1989) menyatakan bahwa ada tiga metode yang biasanya dipakai untuk menyatakan kelimpahan secara kuantitatif dan nama yang harus digunakan tergantung pada tujuan atau untuk apa informasi itu diperlukan dan waktu yang tersedia untuk pencuplikan vegetasi. Ketiga metode adalah :

1. Kerapatan
Kerapatan (densitas) suatu jenis adalah jumlah individu rata-rata persatuan luas. Kerapatan dihitung dengan menghitung jumlah individu setiap jenis dalam kuadrat yang luasnya ditentukan. Kemudian perhitungan ini dilanjutkan di tempat-tempat yang tersebar secara acak. Hasil-hasil dari semua kuadrat ini dijumlahkan dan dihitung kerapatan untuk setiap jenis.
2. Persentase Penutupan
Persentase penutupan didefinisikan sebagai persentase tanah yang ditutupi oleh bagian tumbuhan tertentu yang ada di atas tanah. Sifat penutupan ini dengan mudah dapat dipahami dengan mengatakan bahwa apabila suatu komunitas yang terdiri atas bagian permukaan tanah yang ditutup oleh bayangan yang merupakan penutup atas jenis tersebut.
3. Frekuensi
Frekuensi ditentukan dengan mencatat kehadiran dan ketidak hadiran (bukan jenis individu) suatu jenis dalam sederetan kuadrat yang disebar secara acak. Jumlah jenis dalam suatu komunitas disebut kekayaan jenis (jenis richenes) tidak cukup meletakkan keanekaragaman karena sama pentingnya dengan kelimpahan relative “relative abundance” dari masing-masing populasi.


III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan mulai bulan Februari sampai Maret 2007. Lokasi penelitian pada Kawasan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara.
B. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1 :
Tabel 1. Alat yang Digunakan Serta Fungsinya
No. Nama Alat Kegunaan/Fungsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

8.
9.

10. Meter rool 100 m
Tali rapia, patok dan parang
Kompas
Spidol
Termometer
Altimeter
Soil tester

Hygrometer
GPS

Meter kain Pengukur area kajian
Pembuatan plot pengamatan
Menentukan jalur transek
Menandai sampel
Untuk mengukur suhu
Mengukur ketinggian tempat
Untuk mengukur pH dan kelembaban tanah
Mengukur kelembaban udara
Untuk menentukan koordinat lokasi penelitian
Untuk mengukur lingkaran pohon



C. Variabel, Definisi Operasional dan Indikator Penelitian
1. Variabel
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah komposisi dan keanekaragaman vegetasi struktur pohon pada kawasan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. Definisi Operasional
a. Komposisi vegetasi adalah susunan dan jumlah jenis tumbuhan yang terdapat pada kawasan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara.
b. Keanekaragaman vegetasi adalah jumlah jenis dan individu tiap jenis tumbuhan struktur pohon, dengan menggunakan nilai indeks Shanon- Wiener.
3. Indikator Penelitian
Indikator penelitian yang diamati meliputi jumlah jenis, densitas, densitas relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif dan indeks nilai penting serta indeks keanekaragaman.
D. Sampel Penelitian
Sampel yang diamati dalam penelitian ini adalah semua golongan pohon yang terdapat dalam plot pengamatan pada kawasan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tnggara.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian survey. Suryabrata (1986) menyatakan bahwa penelitian survey digunakan untuk membuat pencandraan secara sistematis dan faktual mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode transek garis. Alasan dipilihnya metode ini, karena selain cukup sederhana juga dapat mencapai tujuan yang hendak dicapai.
Tahapan pelaksanaan penelitian yaitu :
1. Pembuatan garis transek
Dalam kajian ini, jalan poros dianggap sebagai acuan dalam pembuatan garis transek yang terdiri atas 4 transek. Transek I berbatasan dengan lahan perkebunan masyarakat. Transek II dan III terletak di tengah kawasan. Sedangkan transek IV berbatasan dengan perkebunan masyarakat. Panjang garis transek dari jalan poros ke arah dalam ± 1000 m dengan jarak antara tansek ± 250 m.
2. Pembuatan plot pengamatan
Plot pengamatan diletakkan di sisi kiri dan kanan (zig-zag) sepanjang garis transek. Jumlah plot untuk setiap transek sebanyak 15 buah plot dengan jarak plot satu dengan yang lainnya yaitu ± 20 meter yang terdiri atas 3 blok yang diletakan pada bagian tengah dan masing-masing ujung transek dengan jarak tiap blok plot pengamatan ± 250 meter. Dengan demikian total plot untuk empat transek adalah sebanyak 60 plot.
Ukuran plot yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 x 20 meter untuk pohon, Contoh garis transek dan plot-plot pengamatan disajikan pada Gambar 1.














Keterangan Gambar :
A : Plot
B : Garis transek

Gambar 1. Bagan Peletakan Transek dan Plot-Plot Pengamatan

3. Pengambilan Data
Diameter batang diperoleh dari hasil pengukuran keliling batang kemudian dibagi dengan Phi (π) dinyatakan dalam cm (π = 3,14). Pengukuran keliling batang pohon masing-masing jenis diukur pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah. Bagi pohon yang mempunyai akar banir pengukuran dilakukan pada garis 30 cm di atas banir. Sedangkan pohon yang bercabang, jika percabangan di atas 130 cm dianggap 1 pohon, jika dibawah 130 cm dianggap 2 pohon (Martikainen, 2000). Dalam pengambilan data dilakukan pencatatan nama jenis dengan menggunakan nama ilmiah jika tumbuhan telah diidentifikasi/teridentifikasi dan nama daerah untuk keperluan identifikaksi lebih lanjut, dengan menggunakan buku indentifikasi.
4. Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan dilakukan untuk mengetahui beberapa faktor lingkungan yaitu, derajat keasaman (pH), kelembaban tanah, kelembaban udara, suhu dan ketinggian tempat, pada lokasi pada kawasan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Bau-bau Provinsi Sulawesi Tenggara.

F. Teknik Analisis data
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, yaitu mendeskripsikan setiap parameter vegetasi yang diamati dengan mengacu pada rumus yang dikemukakan oleh Cox (1971) dalam Hardjosuwarno (1989) sebagai berikut:
1. Densitas


2. Densitas Relatif


3. Frekuensi


4. Frekuensi Relatif

5. Dominansi
Dominansi untuk strata pohon




dimana: d = diameter batang
= 3,14



6. Indeks Nilai Penting

7. Indeks keanekaragaman menurut Shannon-Winner (1949) dalam Soegianto (1994), dengan rumus sebagai berikut:
H’ = - Σ (pi) (Lnpi) dimana pi =
Dengan :
H′ = Indeks keanekaragaman Shannon-Winner
ni = Jumlah individu lamun ke-i
N = Jumlah total individu lamun
Dimana :
Jika H' ≤ 1 = Sangat rendah
H' > 1 – 2 = Rendah
H' > 2 – 3 = Sedang
H' > 3 – 4 = Tinggi
H' > 4 = Sangat tinggi


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
Penetapan hutan Tirta Rimba sebagai taman wisata alam adalah karena kawasan hutan Tirta Rimba merupakan habitat satwa liar yang dilindungi, serta memiliki potensi wisata yang cukup tinggi berupa air terjun, kolam permandian, dan pantai yang indah. Letaknya yang dekat dengan Kota Bau-Bau menciptakan prospek yang cerah untuk dikembangkan menjadi tempat wisata. Secara administratif Kehutanan termasuk wilayah RPH Wolio, BKPH Buton Barat, KPH Buton. Sampai saat ini pengelolaannya di bawah Resort KSDA Tirta Rimba, Sub Seksi KSDA Buton. (Anonim, 2006 ).
Secara geografis TWA Tirta Rimba Wolio terletak di antara 4°29' - 4°30' LS dan 122°38' - 122°40' BT, secara administratif pemerintahan termasuk dalam wilayah Kelurahan Kadolomoko, Waruruma, dan Kadolo Katapi, Kecamatan Wolio, Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi tenggara.
B. Kondisi Lingkungan
Hasil pengamatan kondisi lingkungan dengan parameter derajat keasaman (pH), kelembaban tanah, kelembaban udara, suhu dan ketinggian tempat, pada lokasi hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Kota Bau-Bau disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Parameter Lingkungan
No. Transek Kelembaban tanah (%) Kelembaban udara (%) pH tanah Suhu (ºC) Ketinggian tempat (mdpl)
1.
2.
3.
4. I
II
III
IV 35
35
35
35 86
87
85
85 6,5
6
6,5
6,5 27
26
27
26
80

Rata-rata 35 85,75 6,37 26,5

Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa rata-rata kelembaban tanah pada saat penelitian yaitu 35 %, rata-rata kelembaban udara yaitu 85,75 %, rata-rata pH tanah yaitu 6,37, suhu udara rata-rata yaitu 26,5 ºC dan lokasi penelitian berada pada ketinggian 80 m dpl.
C. Kompiosisi Vegetasi Struktur Pohon pada Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara
1. Komposisi Vegetasi Struktur Pohon
Hasil penelitian, diperoleh 26 jenis tumbuhan struktur pohon. Komposisi jenis yang ditemukan diseluruh area kajian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Vegetasi Struktur Pohon Pada Area Hutan Tirta Rimba Wolio
No. Nama Daerah
(Wolio) Nama Latin Total Individu Jumlah Individu
T1 T2 T3 T4
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Katatolowe Barringtonia racemosa 118 35 63 13 7
2. Beringin Ficus benyamina 37 11 8 9 9
3. Sali-Sali Arthocarpus teysmani 54 12 10 5 27
4. Teo Arthocarpus elastic 44 7 5 24 8
5. Korope Mischocarpus sundaicus 8 6 - - 2
1 2 3 4 5 6 7 8
6. Kogu-kogu Ficus septica 2 2 - - -
7. Lea Neuburgia selebica 5 4 1 - -
8. Lumbai Carinarium balsamiferum 3 1 2 - -
9. Kengkeluwa Bischafia javanica 2 2 - - -
10. Kabungka-bungka Diospyros ellipticafollia 14 9 - 5 -
11. Polili Querqus abendani 13 9 2 - 2
12. Mewu Planchoina valida 3 3 - - -
13. Lolo Pipta fagifola 5 5 - - -
14. Bale Crytocarya 11 8 - 2 1
15. Dongkala Nauclea orientalis Merr. 8 4 - 2 2
16. Bale-Bale Eugenia sp. 3 2 - 1 -
17. Golongkolio Timonius sp. 5 3 - 2 -
18. Katapi Sandroricum koefjapa 1 - 1 - -
19. Longkida Mertosideros petiolata 5 - 3 - 2
20. Sioh Evodia speciosa 1 - 1 - -
21. Ninifo Mangifera indica 2 1 1
22. Jati Hutan Tectona grandis 2 - - 2 -
23. Kabuka Malanolepis multiglandulosa 4 - - 4 -
24. Campana Cerbera manghas 4 - - 2 2
25. Rinda Gironniera sunaqualis 2 1 - - 1
26. Bangkudu Fagteae recemosa 1 - - 1 -


Berdasarkan tabel 3, nampak bahwa komposisi jenis tumbuhan struktur pohon yang terdistribusi di seluruh area hutan taman wisata alam mempunyai komposisi tumbuhan yang beragam.
Masing-masing jenis pada area hutan kawasan TWA Tirta Rimba Wolio memiliki jumlah individu yang berbeda-beda. Pada tansek I terdapat 18 jenis tumbuhan, transek II terdapat 11 jenis tumbuhan, transek III terdapat 14 jenis tumbuhan, dan pada transek IV terdapat 11 jenis tumbuhan yang tergolong pada struktur pohon. Jenis Katatolowe (Barringtonia racemosa) merupakan tumbuhan yang ditemukan sedangkan jenis lainnya hanya ditrmukan pada beberapa plot, yang disajikan pada (Lampiran 1, 2 dan 3). Hal ini dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan atau habitat yang mengakibatkan ketidakhadiran jenis-jenis tertentu yang ada pada area hutan taman wisata alam. Sebagaimana Bazzaz dan Pickett (1980) mengemukakan bahwa komposisi komunitas senantiasa bervariasi dari setiap tempat ke tempat yang lain karena setiap jenis menanggapi setiap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya.
Pada area Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio, jenis yang memiliki kerapatan atau densitas reatif (DR) tertinggi, frekuensi relatif (FR) tertinggi, dominansi relatif (DR) tertinggi, dan nilai penting (NP) tertinggi diduduki oleh jenis Barringtonia racemosa (Katatolowe), dengan nilai DR = 31,806 %, FR = 18,436 % , DR = 16, 556 % dan INP = 66,797 %. Distribusi kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting vegetasi struktur pohon di Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio disajikan pada Tabel 4, dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 4 : Distribusi Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, Dominansi Relatif, Dan Nilai Penting Struktur Pohon pada Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio

No Nama Latin ∑ Ind D
(Ind/m2 ) DR % F FR % D DR % INP %
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Barringtonia racemosa 118 0,0049167 33,15 0,60 18,85 8,08 31,50 83,50
2 Arthocarpus teysmani 54 0,0022500 15,17 0,40 12,57 2,75 10,71 38,44
3 Arthocarpus elastic 44 0,0018333 12,36 0,45 14,14 2,97 11,56 38,06
4 Ficus benyamina 37 0,0015417 10,40 0,42 13,09 5,96 23,22 46,70
5 Diospiros ellipticafollia 14 0,0005833 3,93 0,13 4,19 0,62 2,41 10,54
6 Querqus abendani 13 0,0005417 3,65 0,13 4,19 0,33 1,28 9,12
7 Crytocarya 11 0,0004583 3,09 0,08 2,62 0,30 1,17 6,88
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
8 Mischocarpus sundaicus 8 0,0003333 2,25 0,10 3,14 0,50 1,95 7,34
9 Neuclea orientalis Merr. 7 0,0002917 1,97 0,08 2,62 0,51 1,98 6,57
10 Timonus sp. 5 0,0002083 1,40 0,05 1,57 0,11 0,42 3,40
11 Neuburgia selebica 5 0,0002083 1,40 0,07 2,09 0,17 0,68 4,18
12 Neuclea orientalis 5 0,0002083 1,40 0,08 2,62 1,68 6,56 10,58
13 Pipta fogifola 5 0,0002083 1,40 0,07 2,09 0,20 0,78 4,28
14 Melanolepsis multiglandilosa 4 0,0001667 1,12 0,03 1,05 0,21 0,80 2,97
15 Carbera manghas 4 0,0001667 1,12 0,08 2,62 0,14 0,56 4,30
16 Ficus septic 2 0,0000833 0,56 0,02 0,52 0,06 0,25 1,33
17 Planchoina valida 3 0,0001250 0,84 0,03 1,05 0,18 0,71 2,60
18 Carinarium balsamiferum 3 0,0001250 0,84 0,03 1,05 0,06 0,22 2,11
19 Evodia speciosa 1 0,0000417 0,28 0,02 0,52 0,13 0,52 1,32
20 Gironniera sunaqualis 2 0,0000833 0,56 0,02 0,52 0,07 0,26 1,34
21 Mangivera indica 2 0,0000833 0,56 0,02 0,52 0,05 0,18 1,26
22 Fagteae racemosa 1 0,0000417 0,28 0,02 0,52 0,02 0,08 0,89
23 Tectona grandis 2 0,0000833 0,56 0,02 0,52 0,03 0,13 1,21
24 Eugunia sp 3 0,0001250 0,84 0,02 0,52 0,24 0,92 2,29
25 Bischafia javanica 2 0,0000833 0,56 0,017 0,52 0,06 0,22 1,31
26 Sandoricum koefjapa 1 0,0000417 0,28 0,016 0,52 0,24 0,93 1,74
Jumlah 356 0,0148333 100 300 100 25,65 100 300


Berdasarkan Tabel 4, untuk menggambarkan dominansi masing-masing jenis digunakan Indeks Nilai Penting (INP). Curtis (1959) dalam Affandi (1996) menyatakan bahwa indeks nilai penting merupakan penjumlahan dari beberapa parameter dan nilainya dapat digunakan menggambarkan tingkat dominansi dalam komunitas tumbuhan. Dimana semakin besar indeks nilai penting maka tingkat dominansinya akan semakin tinggi, sebaliknya semakin kecil indeks nilai penting maka tingkat dominansinya juga semakin rendah.
Berdasarkan Tabel 4, tampak bahwa dari segi jumlah pohon, penyebaran pohon, dan ukuran diamater batang, jenis Barringtonia racemosa (Katatolowe) menempati urutan yang tertinggi. Ini menunjukkan bahawa jenis Barringtonia racemosa memiliki daya toleransi terhadap faktor lingkungan yang cukup tinggi. Kusmantono (1996) menjelaskan bahwa jenis yang memiliki indeks nilai penting tinggi tampaknya daya toleransi terhadap faktor lingkungan setempat sangat baik. Lebih lanjut Barbour et al. (1999) menjelaskan bahwa jenis yang memiliki indeks nilai penting terbesar dapat memberikan kontribusi terbesar di dalam komunitas itu sebaliknya jika jenis yang memiliki indeks nilai penting terendah kurang memberikan kontribusi dalam komunitas.
Apabila terjadi gangguan pada populasi Barringtonia racemosa akan menyebabkan pengaruh kepada struktur vegetasi pohon di Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio, maka akan berubah. Dengan kata lain kestabilan struktur vegetasi pohon di area ini dikendalikan oleh jenis Barringtonia racemosa.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa, berdasarkan indikator nilai penting, struktur vegetasi di Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio menunjukkan struktur yang kurang stabil. Pada strata pohon indeks nilai penting tertinggi diduduki jenis Barringtonia racemosa (Katatolowe), dan jenis yang terendah diduduki oleh spasies Katapi. Hal ini menggambarkan bahwa adaptasi terhadap faktor lingkungan pada masing-masing jenis berbeda. Menurut Kramer dan Kozlowski (1979), pertumbuhan merupakan hasil akhir interaksi dari berbagai proses fisiologis, dan untuk mengetahui mengapa pertumbuhan pohon berbeda pada berbagai variasi keadaan lingkungan, diperlukan bagaimana proses fisiologis dipengaruhi oleh lingkungan. Gleason (1926) Jenis tanggap terhadap kondisi lingkungan secara independen, tidak menghadapinya bersama-sama.
2. Indeks Nilai Penting Masing-Masing Jenis Untuk Tiap Transek Pada Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio
a. Indeks Nilai Penting Pada Transek I
Pada area hutan taman wisata alam Tirta Rimba Wolio, transek I jenis yang memiliki indeks nilai penting tertinggi yaitu jenis Barringtonia recemosa (INP = 61, 542 %) sedangkan indeks nilai penting terendah yaitu jenis Carinarium balsamiferum (INP = 2,821 %). Distribusi indeks nilai penting pada Transek I disajikan pada Gambar 2.










Gambar 2 : Histogram Indeks Nilai Penting tiap Jenis pada Transek I







b. Indeks Nilai Penting Pada Transek II
Indeks nilai penting tiap jenis struktur pohon pada taransek II yaitu pada jenis Baringtonia recemoisa (INP = 146,001 %) sedangkan indeks nilai penting terendah Mangifera indica L. (INP = 3,875 %). Distribusi indeks nilai penting tiap jenis pada Transek II disajikan pada Gambar 3.










Gambar 3 : Histogram Indeks Nilai Penting tiap Jenis pada Transek II




c. Indeks Nilai Penting Pada Transek III
Indeks nilai penting tiap jenis struktur pohon pada taransek III yaitu pada jenis Arthocarpus elasticus (INP = 102,98 %) sedangkan indeks nilai penting terendah Fagteae recemosa (INP = 4,360 %). Distribusi indeks nilai penting tiap jenis pada Transek III disajikan pada Gambar 4.











Gambar 4 : Histogram Indeks Nilai Penting tiap jenis pada transek III






d. Nilai Penting Pada Transek IV
Pada area Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio, Pada taransek IV jenis yang memiliki indeks nilai penting tertinggi yaitu terdapat pada jenis Arthocarpus teysmani (INP = 101,99 %) sedangkan indeks nilai penting terendah Crytocarya (INP = 4,713 %). Distribusi indeks nilai penting pada Transek IV disajikan pada Gambar 5.








Gambar 5 : Histogram Indeks Nilai Penting tiap jenis pada transek IV



Berdasarkan Gambar 5, nampak bahwa pada kawasan Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio, jenis yang memiliki indeks nilai penting yang tertinggi terdapat jenis Barringtonia racemosa (INP = 107,109 %), yang terdapat pada transek I, Hal ini mencerminkan bahwa Katatolowe (Barringtonia racemosa) memiliki daya toleransi terhadap faktor lingkungan yang cukup tinggi. Sebagaimana pernyataan Kusmantono (1996) bahwa jenis yang memiliki indeks nilai penting tinggi tampaknya daya toleransi terhadap faktor lingkungan setempat amat baik. Lebih lanjut, Barbour et al. (1999) menjelaskan bahwa jenis yang memiliki indeks nilai penting terbesar dapat memberikan kontribusi terbesar di dalam komunitas itu sebaliknya jika jenis yang memiliki indeks nilai penting terendah kurang memberikan konstribusi dalam suatu komunitas.
D. Indeks Keanekaragaman
Pada Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio, transek III memiliki indeks keanekaragaman (2,528), jika dibandingkan dengan tiga transek lainnya, hal ini disebabkan kondisi vegetasi pada transek III masih relatif alami. Sedangkan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada transek II yaitu 1,431, dimana pada transek ini merupakan jalan masyarakat untuk memasuki Kawasan Hutan Taman Wisata Alam, sehingga kondisi vegetasi pada transek II mengalami kerusakan. Distribusi indeks keanekaragaman pada areal Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Disajikan Pada Gambar 6.








Gambar 6 : Histogram Indeks Keanekaragaman Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio


V. P E N U T U P
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis komposisi dan keanekaragaman vegetasi struktur pohon pada areal Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Madya Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Jumlah jenis yang temukan pada areal Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio adalah 26 jenis.
2. Indeks Nilai Penting tertinggi struktur pohon dari keseluruhan transek adalah jenis Baringtonia racemosa (107,109 %), sedangkan INP terendah, yaitu Fagteae racemosa (0,89 %).
3. Indeks keanekaragaman tertinggi pada areal Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio terdapat pada Transek III yaitu (2,528) sedangkan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada Transek II yaitu (1,431).
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang komposisi dan Struktur vegetasi golongan pohon pada Hutan Kawasan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio serta perlunya ada perhatian pemerintah tentang pemanfaatan hutan dan pemeliharaan kawasan Hutan Taman Wisata Alam Tirta Rimba Wolio Kota Madya Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara secara komprentasif.

DAFTAR PUSTAKA
Analuddin, 1997. Analisis Vegetasi pada Beberapa Tegakan di Ngandung Lereng Merapi Kaliurang dan KRPH 19 Banaran, Playen Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Skipsi S1 UGM, Yogyakarta.

______, 2002. Struktur dan Dinamika Populasi Maggrove pada Beberapa Tipe Umur Komunitas di Segara Anakan Cilacap jawa Tengah, Tesis Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.

Anonim, 2006a. Informasi Kawasan Koservasi Provinsi Sulawesi Tenggara, BKSDA Sultra. Kendari

Bazzaz, F.A., and Picket, S.T. A, 1980. Physiological Ecology of Trophical Succession A Comparison Review, Ann. Rev, Ecol Syst.

Barbour, M. G., Burk, J. H and Pitts, W. D., 1999. Teresterial Plant Ecology, Third Edition, California, U. S. A.

Hardjosuwarno, S., 1989. Ekologi Tumbuhan, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.

Hardjosuwarno, S., 1990. Dasar-Dasar Ekologi Tumbuhan, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.

Junus, M., 1989. Dasar Umum Ilmu Kehutanan (Jilid I dan II). Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Indonesia, Ujung Pandang.

Kusmantono, 1996. Komposisi dan Struktur Komunitas Pohon di Beberapa Daerah Tepi Taman Nasional Gunumg Halimun dan Pengaruhnya Terhadap Tumbuhan Bawah. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Loveless, A. R, 1989. Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropika (Terjemahan Kartawinata, K), Garmedia Jakarta.

Martikainen, 2000. Petujuk Teknis Survei Pohon dan Topografi. Departemen Kehutanan, European Union

Muller – Dombois, D dan Ellenberg, H., 1974. Aims and Method of Vegetation Ecology, John Willey and Sons, New York.

Odum, E. P., 1993. Dasar-Dasar Ekologi. (Terjemahan Samingan). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Polunin, N., 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. (Terjemahan Tjitrosoepomo, G.). Gadjah mada University Press, Yogyakarta.

Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Jakarta.
Suryabrata, S., 1983. Metodologi Penelitian. Rajawali, Jakarta.
Suwarsono, H., 1986. Pengantar Ekologi. Universitas Brawijaya, Malang.
Steenis, Van, C. G. G. J., 1987. Flora Untuk di Sekolah. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Hildebran (1950)